Jumat, 21 Mei 2010

teori abraham

TEORI-TE0RI MOTIVASI KONVENSIONAL
Motivasi adalah kekuatan yang memacu seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam suatu organisasi, motivasi anggota sangat penting karena tanpa keteguhan motivasi anggota maka upaya mencapai tujuan organisasi tersebut tidak akan berhasil dengan baik.
Ada empat hal yang harus dimaknai secara komprehensif berkaitan dengan motivasi dalam berorganisasi. Yakni, bahwa motivasi berisikan hal-hal yang bersifat positif, motivasi mengatur hubungan kerja, motivasi menentukan kinerja organisasi, dan motivasi tidak pernah boleh berhenti.
Jika seseorang anggota mendapat kepuasan dari fungsi dan perannya di dalam organisasi, bukan kepuasan akibat peningkatan status sosial atau keuntungan finansial, maka hal tersebut berarti yang bersangkutan memiliki motivasi intrinsik.
Sebaliknya, motivasi ekstrinsik berarti ada elemen lain di luar tugas pekerjaan sebagai faktor utama yang memotivasi seseorang anggota organisasi melaksanakan fungsi dan perannya di dalam organisasi, misalnya prestise atau besarnya kompensasi.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, saat ini pemahaman tentang motivasi tidak lagi terbatas pada pengertian tradisional di mana manajemen memotivasi anggota hanya melalui sistem insentif (anggota yang memberi keuntungan lebih besar kepada organisasi akan menerima insentif yang lebih besar). Model hubungan manusia kini mewarnai kaidah tradisional tersebut.
Kecenderungan saat ini adalah manajemen berupaya memotivasi anggota melalui pemenuhan kebutuhan sosial anggota sehingga anggota merasa penting dan berguna bagi organisasi.Landy & Becker, berbekal model hubungan manusia tersebut, menyusun lima kategori teori motivasi, yaitu Teori Kebutuhan, Teori Penguatan, Teori Keadilan, Teori Harapan, dan Teori Penetapan Sasaran.
Teori Kebutuhan (Hierarchy of Needs): Seseorang mempunyai motivasi jika belum mencapai tingkat kepuasan tertentu dalam kehidupannya. Abraham Maslow merupakan penggagas teori kebutuhan yang paling populer. Teori Hirarki Kebutuhan-nya mengutarakan, motivasi manusia berdasarkan lima kebutuhan dengan urutan dari terendah sampai dengan tertinggi sebagai berikut: fisiologis -> keamanan -> sosial -> harga diri -> aktualisasi diri.Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhanya tersebut secara bertahap. Apabila satu tahapan kebutuhan telah terpenuhi maka kebutuhan tersebut tidak lagi menjadi motivator.John W. Atkinson mengelompokkan tiga kebutuhan yang memacu motivasi intrinsik, yakni kebutuhan berprestasi (needs for achievement), kebutuhan berkuasa (needs for power), dan kebutuhan berafiliasi (needs for affiliation). Teori ERG:Seseorang yang belum mampu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi akan kembali pada kebutuhan yang lebih rendah. Clayton Alderfer mempopulerkan teori ini berdasarkan pada norma keberadaan (Existence), hubungan (Relatedness), dan pertumbuhan (Growth). Alderfer menyampaikan, penekanan teori ini adalah pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi.
Teori Keadilan (Justice). faktor utama motivasi kerja adalah evaluasi individual terhadap keadilan penghargaan yang diterima. Stoner, yang mengemukakan teori ini, berpendapat bahwa harus ada perbandingan yang memadai antara input - output. Menurutnya, seseorang anggota organisasi akan lebih memotivasi dirinya jika rasio input - output yang dimiliki sama dengan rasio input - output yang dimiliki anggota lain. Dengan demikian persepsi anggota organisasi terhadap keadilan peraturan organisasi (procedural juctice) dalam membagi imbalan menjadi sangat penting.
Teori Harapan (Hopes) :Seseorang menentukan tingkah lakunya berdasarkan berbagai alternatif dengan harapan memperoleh keuntungan dari setiap tindakan yang dipilihnya. Menurut Gordon, teori ini terdiri atas tiga elemen dasar: harapan, instrumentalitas, dan valensi. Harapan mengacu pada persepsi individu bahwa usaha akan menghasilkan kinerja (seperti, produktivitas atau peningkatan penjualan). Instrumentalitas mengacu pada persepsi individu bahwa kinerja dapat berupa hasil yang positif atau negatif (misal, promosi, kenaikan gaji, kelelahan, atau kesunyian). Valensi mengacu pada nilai individu yang melekat pada kinerja yang dihasilkan.
Teori Penguatan (Reinforcement) :tingkah laku berkonsekuensi positif cenderung berulang; tingkah laku berkonsekuensi negatif cenderung tidak berulang. B.F. Skinner, pengemuka teori ini menyampaikan bahwa tindakan seseorang pada masa lalu sangat mempengaruhi tindakan masa depan secara siklus dengan urutan sebagai berikut: rangsangan -> respon masa lalu -> konsekuensi -> respon masa depan. Manajemen biasanya memanfaatkan pendekatan ini untuk mengubah tingkah laku anggota organisasinya. Oleh karena itu lazim juga disebut teori modifikasi tingkah laku (behaviour modification) berdasarkan ide eksplorasi W. Clay Hamner.
Teori Penetapan Sasaran (Goal Setting): seseorang secara individu akan termotivasi apabila mempunyai kemampuan atau keterampilan untuk mencapai sasaran tertentu. Peter F. Drucker berpendapat, penetapan sasaran merupakan program yang terdiri atas tujuan yang spesifik dan ditentukan secara partisipatif untuk suatu periode yang jelas disertai dengan umpan balik mengenai kemajuan pencapaian tujuan. Fokus teori ini adalah pada proses penetapan sasaran yang dapat dibedakan atas sasaran spesifik (specificity), sasaran sulit (difficulty), dan sasaran diterima (acceptance). Penetapan sasaran tidak dilakukan secara sepihak oleh manajemen, melainkan penetapan sasaran melibatkan anggota organisasi dengan mengedepankan prinsip partisipasi agar memotivasi anggota untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi.

MOTIVASI BERPRESTASI
Prof. Dr. David C. McClelland, psikolog dari Universitas Harvard pada tahun 1961 merilis sebuah teori yang disebut motivasi berprestasi. Teori ini bermakna suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Dari penelitiannya – juga Murray (1957) serta Miller dan Gordon (1970) - dapat disimpulkan terdapatnya hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan pencapaian prestasi. Artinya, manajer yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi kerja tinggi, dan sebaliknya mereka yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi berprestasinya juga rendah. Dan ternyata, motivasi berprestasi seseorang sangat berhubungan dengan dua faktor, yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. Artinya, orang akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa. Ia akan mampu mencapai prestasi maksimal. Hal ini karena ia didukung oleh dua kemampuan yang berasal dari kedua faktor tersebut. IQ merupakan kemampuan potensi dan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Dalam kondisi faktual seperti sekarang ini, sesuai dengan paradigma perubahan seperti telah dijelaskan di atas, maka harus dicetak “manusia-manusia pembangun” yang akan menggerakkan masyarakat ke arah perbaikan. Manusia pembangun adalah orang yang memiliki pengetahuan, keahlian dan ketrampilan dalam bidangnya, sekaligus memiliki mental pemimpin yang memotivasi proses perbaikan kelompok masyarakat di mana ia berada. Misalnya, dalam kelompok petani, kelompok wanita, kelompok remaja, perkumpulan guru-guru, perkumpulan rekan sekerja, kelompok mahasiswa, kelompok pelajar, atau yang lainnya. Ia memiliki kesadaran dan perhatian baik pada diri sendiri maupun orang lain dan memiliki motivasi untuk berprestasi.
Seorang pemimpin yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi memiliki karakteristik, antara lain:
(1) memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi;
(2) memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya;
(3) memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya;
(4) melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan;
(5) mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.
Sebaliknya pemimpin yang motif berprestasinya rendah, dicirikan oleh sejumlah hal berikut :
(1) kurang memiliki tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan suatu aktivitas;
(2) memiliki program kerja tetapi tidak didasarkan pada rencana dan tujuan yang realistik serta lemah rnelaksanakannya;
(3) bersikap apatis dan tidak percaya diri;
(4) ragu-ragu dalam mengambil keputusan;
(5) tindakannya kurang terarah pada tujuan.

Pembangunan masyarakat hanya dapat digalakkan oleh manusia-manusia yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya. Antara lain, ia harus mengenali diri sendiri dengan baik, dapat menerima dirinya sendiri dengan segala kelemahan dan keunggulan, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, tidak mudah terpengaruh, tidak mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan kelompok atau masyarakat umum.
Kelompok yang berfungsi dengan baik maksudnya adalah adanya satu kelompok yang anggotanya mempunyai motivasi yang jelas, yang bekerja secara terkoordinasi, terarah, dan teratur, dan yang tidak terhambat oleh emosi, masalah-masalah pribadi atau masalah interaksi. Kelompok ini memperhatikan tugasnya maupun manusianya. Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi adalah adanya masalah pada diri manusianya yang mengakibatkan tugas kelompok terganggu.
Di samping mempunyai sifat seperti dijelaskan di atas, penggerak masyarakat diharapkan supaya:
(1) dapat mengatasi perselisihan;
(2) dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat;
(3) dapat berpikir kreatif untuk mendorong dan merangsang orang lain;
(4) dapat merencanakan sesuatu dengan orang lain;
(5) mampu berunding dan bekerja sama dengan siapa pun;
(6) dapat mengurangi hambatan untuk bekerja sama di dalam kelompok tempat ia bekerja;
(7) dapat mengamati dan menangkap proses serta perkembangan di dalam kelompok;
(8) dapat berkomunikasi dengan jelas dan efektif;
(9) bersedia untuk memberi dan menerima umpan-balik (feed-back);
(10) bersedia untuk membagi pengetahuannya;
(11) menganggap orang lain sebagai partner yang berhak sama, bukan sebagai anak buah (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah).

PENUTUP
Kemalasan hanya akan mendatangkan penyesalan. Semangat bekerja, profesional dan trust (amanah) adalah kunci mencegah penyesalan. Oleh karena itu motivasi kerja harus dibangun dengan tepat, agar tidak pragmatis dan rapuh. Perubahan harus dimaulai dari sekarang. Gunakan waktu sebaik mungkin. Dengan upaya ini, insya Allah sedikit demi sedikit kita semua akan mengalami kemajuan. Oleh karena itu, inilah saatnya untuk mengatakan “Jika kita berfikir bisa maka Insya Allah akan bisa”. Wallahu a’lam bish shawab

http://cakdun.blogspot.com/2008/11/teori-motivasi.html



BAB II DASAR TEORI
A. Pengertian Istilah motivasi (motivation) sering kali kita dengar. Kemudian apakah yang di sebut dengan MOTIVASI? Motivasi dalam suatu konteks organisatoris merupakan proses dengan apa seorang manajer merangsang pihak lain untuk bekerja dalam rangka upaya untuk mencapai sasaran-sasaran organitoris, sebagi alat untuk memuaskan keinginan-keinginan pribadi mereka sendiri. Pengertian yang lain tentang motivasi adalah suatu kegiatan dari seorang manajer yang dapat mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara prilaku manusia (karyawan) menjadi lebih baik. Maka, Motivasi merupakan hasil (outcome) proses tersebut dalam praktek, cukup banyak manajer menafsirkan keliru sifat proses motivasional yang bersifat sangat pribadi. Mereka beranggapan bahwa tindakan-tindakan mereka sebagai model-model peranan, sebagai “pemompa semangat” perusahaan (company cheerleaders), sebagai pihak yang menetapkan tujuan-tujuan, sebagi penguasa tugas-tugas, atau sebagi pendisiplin ketat akan menginspirasi atau merangsang para bawahan mereka untuk bertindak sesuai dengan ekspektasi-ekspektasi manajerial.
B. Teori-teori Tentang Motivasi Kekuatan terbesar sebuah teori terletak pada manfaatnya sebagi sebuah model umum nutuk menghadapi aneka macam persoalan dan problem. Walaupun teori-teori tentang motivasi, tidak dapat memberikan petunjuk bagaimana seorang manajer harus berprilaku dalam situasi tertetu, mereka merupakan petunjuk-petunjuk tentang persoalan-persoalan yang perlu dipertimbangkan dalam hal penganbilan keputusan, dan mereka menunjukan proses mana kiranya paling mungkin menghasilkan hasil-hasil yang diinginkan. Ada tiga buah teori tentang Motivasi, yaitu :
1. Teori Hierarki kebutuhan dan Abraham Maslow
2. Teori Dua faktor dari Fredrick Herzberg
3. Teori Motivasi prestasi dari David Mc. Clelland Walaupun inti teori-teori tersebut berbeda, Ketiga macam pendekatan dapat membantu para manajer untuk mengembangkan lingkungan kerja lebih baik untuk bawahan mereka, dengan jalan menyediakan sebagai imbalan, aneka macam tipe balas jasa yang dicari oleh para pekerja mereka :
1. Teori Hierarki kebutuhan Abraham Maslow beranggapan bahwa semua motivasi terjadi sebagai reaksi atas presepsi seseorang individu atas Lima macam tipe dasar kebutuhan yaitu :
• Kebutuhan Fisiologikal
• Kebutuhan akan keamanan
• Kebutuhan-kebutuhan social
• Kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan
• Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri sendiri
2. Teori Dua Faktor Fredrick Harzberg beranggapan bahwa motivasi berlandaskan kebutuhan, dicapainya bukan melalui observasi klinikal seperti halnya Maslow, tetapi dari Riset lapangan.
3. Teori Motivasi Prestasi (Achievement motivation) David Mc. Clelland berpendapat bahwa organisasi-organisasi memberikan peluang-peluang kepada individu-individu untuk memuaskan Tiga macam kebutuhan tingkat leih tinggi yakni apa yang di namakan :
• Kebutuhan akan prestasi (the need for achievement)
• Kebutuhan akan kekuasaan (the need for power)
• Kebutruhan akan afiliasi (the need for affiliation)
BAB III PEMBAHASAN
Teori-teori yang telah di susun oleh para ahli motivator di atas jelas memberikan kontribusi yang menjanjikan bagi kelangsungan organisasi atau perusahaan yang dikembangkan oleh seorang manajer dari segi motivasi. Secara umum kita mengetahui bahwasanya motivasi itu adalah salah satu faktor pendukung berkembangnya suatu organisasi atau perusahaan. Disisi lain, tanpa adanya motivasi, suatu oranisasi tidak akan pernah berjalan dan berkembang sesuai dengan harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang ingin di capai oleh organisasi atau perusahaan itu sendiri. Abraham Maslow telah menjelaskan dalam teorinya yaitu Hiearki kebutuhan bahwa semua motivasi terjadi sebagai reaksi atas persepsi seorang individu atas Lima macam tipe dasar kebutuhan yaitu :
• Kebutuhan fisiologikal, terdiri dari kebutuhan dasar, dan yang bersifat primer. Kadang-kadang mereka dinamakan kebutuhan-kabutuhan biologikal dalam lingkungan kerja modern.
• Kebutuhan akan keamanan, merefleksikan keinginan untuk mengamankan imbalan-imbalan yang telah di capai, dan untuk melindungi diri sendiri terhadap bahaya, cedera, ancaman, kecelakaan, kerugian atau kehilangan. Dan kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan fisikologikal terpenuhi.
• Kebutuhan-kebutuhan sosial, sebagai makhluk sosial, manusia senang apabila mereka disenangi, dan mereka mengejar pemuasan kebutuhan sosial pada waktu mereka bekerja, dengan jalan membantu kelompok-kelompok kerja formal maupun informal.
• Kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan, kebutuhan tersebut mencapai dua macam bentuk. Yang pertama adalah kebutuhan akan penghargaan diri sendiri. Dan yang kedua adalah kabutuhan agar supaya dihargai pihak lain.
• Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri sendiri, berupaya untuk merealisasi potensi penuh mereka, guna memperbesar kemampuan mereka, untuk menjadi kreatif, dan utnuk mencapai :”puncak” kemampuan mereka. Jika Abraham Maslow mengungkapkan demikian,
lain halnya dengan teori Dua Faktor-nya Fredrick Herzberg, yang berlandaskan kebutuhan, dicapainya bukan melalui observasi klinikal seperti halnya Maslow, tetapi dari riset lapangan yang mencakup 200 orang akuntan dan ahli teknik. Dalam penelitiannya, Herzberg telah menemukan dua macam kelompok kebutuhan yang bersifat khas, yaitu kelompok faktor-faktor Higieni atau biasa disebut faktor-faktor pemeliharaan, dan yang kedua dikemukakannya sebagi motivator atau pemberi kepuasan. Faktor-faktor higieni tersebut meliputi beberapa faktor, diantaranya adalah :
• Kebijakan dan administrasi perusahaan
• Supervisi
• Hubungn dengan para supervisor
• Kondisi-kondisi kerja
• Gaji
• Hubungan-hubungan dengan para rekan sekerja
• Kehidupan pribadi
• Hubungan dengan para bawahan
• Status
• Kepastian Faktor-faktor tersebut memiliki nilai, hanya dalam arti bahwa mereka merupakan imbalan eksternal, yang timbul setelah pekerjaan selesai dilaksanakan. Kemudian kelompok yang kedua yaitu motivator. Didalam kelompok ini suatu kepuasan dari sebuah pekerjaan akan terasa setelah dipenuhi dan di asosiasi dengan tingkat-tingkat motivasi yang tinggi. Andai kondisi yang demikian itu tidak di penuh, maka yang timbul justru ketidak puasan (dissatisfied) terhadap pekerjaan. Yang termasuk dalam kelompok mativator antara lain :
• Prestasi • Pengakuan
• Sifat pekerjaan itu sendiri
• Tanggung jawab
• Kemajuan
• Peluang-peluang untuk pertumbuhan secara pribadi Setelah teori Dua faktor yang di kemukakan oleh Fredrick herzberg,
maka selanjutnya adalah teori motivasi prestasi yang ditemukan oleh David Mc. Clellana dengan anggapannya bahwa organisasi-organisasi memberikan peluang-peluang kepada individu-individu untuk memuaskan Tiga macam kebutuhan tingkat lebih tinggi, yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan dan kebutuhan afiliasi. Kebutuhan akan prestasi memiliki cirri-ciri :
• Bersedia menerima resiko tingkat lebih tinggi • Suatu keinginan untuk mendapatkan Feedback konkret tentang hasil prestasi mereka
• Suatu keinginan untuk mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. Dan suatu kecenderungan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang bersifat moderat. Mereka juga cenderung memiliki keterampilan-keterampilan organisatoris yang kuat dan skill dalam bidang perencanaan. Seperti halnya akan kebutuhan prestasi, maka kebutuhan akan kekuasaan terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri sendiri pada Hierarki Maslow. Kebutuhan ini merupakan suatu ekspresi dari keinginan seorang individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi pihak lain. Kebutuhan akan Afiliasi Mc. Clelland pada dasarnya adalah sama atau identik dengan pandangan Meslow . Mc. Clelland merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan-hubungan erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain.
BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya, maka kami dapat menyimpulkan bahwasanya motivasi jika dipandang dari perspektif organisatorisnya memiliki arti yaitu proses dengan apa seorang manajer merangsang pihak lain untuk bekerja dalam rangka upaya mencapai sasaran-sasaran organisasi, sebagai alat untuk memuaskan keinginan-keinginan pribadi mereka sendiri. Sedangkan jika ditinjau secara umum, motivasi memiliki arti suatu kegiatan dari seorang manajer yang dapat mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara prilaku manusia (karyawan) menjadi lebih baik. Dan dalam kasus ini kami mengambil referensi dari tiga orang ahli dalam bidang motivasi yaitu :
• Abraham Maslow, dengan teorinya Hierarki kebutuhan bahwa semua motivasi terjadi sebagai reaksi atas persepsi seorang individu akan kebutuhan Fisiologikal, keamanan sosial, mendpatkan penghargaan dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri sendiri
• Fredrick Harzberg, motivasi berlandaskan kebutuhan, dicapainya bukan melalui observasi klinikal seperti halnya Maslow, tetapi dari riset lapangan yang mencakup 200 orang akuntan dari ahli teknik.
• David Mc. Clelland, organisasi-organisasi memberikan peluang-peluang kepada individu-individu untuk memuaskan Tiga macam kebutuhan tingkat tinggi, yaitu kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi.
Dengan demikian, jika dilihat dari teori-teori para ahli motivasi tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa motivasi itu sangatlah penting sekali dalam dunia organisasi khususnya manajemennya, karena melalui motivasi para organisator dapat mengoptimalkan potensi dan kemampuam yang ada dan mungkin ada dalam dirinya demi tercapainya tujuan baik itu dari organisasinya ataupun tujuan individu itu sendiri. Karena dengan motivasi kita akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi seperti yang di katakan David Mc. Clelland> 17:14 25/05/2008
17:14 25/05/2008

http://zulasri.wordpress.com/2008/05/29/teori-teori-motivasi-dalam-manajemen/






Teori-Teori Motivasi
Tanggal: 04 Oktober 2008

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
http://www.psb-psma.org/content/blog/teori-teori-motivasi




Sekilas Teori Maslow ; Teori Hierarki Kebutuhan
Maslow
Teori Maslow (teori hierarki kebutuhan) sering digunakan untuk meramalkan perilaku orang dalam kelompok atau organisasi, dan bagaimana memanipulasi atau membentuk perilaku tersebut dengan cara memenuhi kebutuhannya, meskipun Maslow sendiri tidak pernah bermaksud untuk meramalkan perilaku.
Ia hanya bertolak dari dua asumsi dasar, yaitu:
a. Manusia selalu mempunyai kebutuhan untuk berkembang dan maju;
b. Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok terlebih dahulu sebelum berusaha memenuhi kebutuhan lainnya, artinya kebutuhan yang lebih mendasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan tambahan yang lebih tinggi mulai mengendalikan perilaku seseorang.
Yang penting dari pemikiran Maslow ini adalah: kebutuhan yang telah dipenuhi (sebagian atau keseluruhan) akan berhenti daya motivasinya, kemudian motivasinya berpindah ke upaya untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang lebih tinggi.
Pemahaman tentang adanya hubungan yang erat antara perilaku dan kebutuhan, seperti telah diuraikan dalam teori perilaku sebelumnya, adalah penting, paling tidak untuk dapat menciptakan kepuasan atau mengurangi ketidakpuasan individu anggota kelompok. Melalui pengamatan terhadap perilaku anggota kelompok dan dikaitkan dengan tingkat kebutuhannya, maka dapat dilakukan tindakan tertentu oleh anggota lainnya atau oleh pimpinan kelompok dalam rangka membentuk sebuah kelompok yang solid.
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13/sekilas-teori-maslow-teori-hierarki-kebutuhan/


Teori-teori Motivasi
Posted by: eko on: March 22, 2008
• In: opini| referensi bk
• Comment!
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; ( arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); ( teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

http://eko13.wordpress.com/2008/03/22/teori-teori-motivasi/


Sekilas David McClelland
David Clarence McClelland (1917-1998) mendapat gelar doktor dalam psikologi di Yale pada 1941 dan menjadi profesor di Universitas Wesleyan. McClelland dikenal untuk karyanya pada pencapaian motivasi. David McClelland memelopori motivasi kerja berpikir, mengembangkan pencapaian berbasis teori dan model motivasi, dan dipromosikan dalam perbaikan metode penilaian karyawan, serta advokasi berbasis kompetensi penilaian dan tes. Ide nya telah diadopsi secara luas di berbagai organisasi, dan berkaitan erat dengan teori Frederick Herzberg.

David McClelland dikenal menjelaskan tiga jenis motivasi, yang diidentifikasi dalam buku ”The Achieving Society”:
1. Motivasi untuk berprestasi (n-ACH)
2. Motivasi untuk berkuasa (n-pow)
3. Motivasi untuk berafiliasi/bersahabat (n-affil)

Model Kebutuhan Berbasis Motivasi McClelland
David McClelland (Robbins, 2001 : 173) dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi McClelland juga digunakan untuk mendukung hipotesa yang akan dikemukakan dalam penelitian ini. Dalam teorinya McClelland mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia.
Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achiefment), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi.
Model motivasi ini ditemukan diberbagai lini organisasi, baik staf maupun manajer. Beberapa karyawan memiliki karakter yang merupakan perpaduan dari model motivasi tersebut.
A. Kebutuhan akan prestasi (n-ACH)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.
n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi , karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.
B. Kebutuhan akan kekuasaan (n-pow)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.
n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi.

C. Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat (n-affil)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.
Karakteristik dan sikap motivasi prestasi ala Mcclelland:
a). Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
b). Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi
yang lebih besar daripada menerima pujian atau pengakuan.
c). Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses
(umpan balik yang diandalkan, kuantitatif dan faktual).
Penelitian David Mcclelland
Penelitian McClelland terhadap para usahawan menunjukkan bukti yang lebih bermakna mengenai motivasi berprestasi dibanding kelompok yang berasal dari pekerjaan lain. Artinya para usahawan mempunyai n-ach yang lebih tinggi dibanding dari profesi lain.
Kewirausahaan adalah merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang sukses (Suryana, 2006). Kreativitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang (Suryana, 2006). Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang (Suryana, 2006). Ciri-ciri pokok peranan kewirausahaan (McClelland, 1961 dalam Suyanto, 1987) meliputi Perilaku kewirausahaan, yang mencakup memikul risiko yang tidak terlalu besar sebagai suatu akibat dari keahlian dan bukan karena kebetulan, kegiatan yang penuh semangat dan/atau yang berdaya cipta, tanggung jawab pribadi, serta pengetahuan tentang hasil-hasil keputusan; uang sebagai ukuran atas hasil.
Ciri lainnya, minat terhadap pekerjaan kewirausahaan sebagai suatu akibat dari martabat dan ‘sikap berisiko’ mereka. Seorang wirausaha adalah risk taker. Risk taker dimaksudkan bahwa seorang wirausaha dalam membuat keputusan perlu menghitung risiko yang akan ditanggungnya. Peranan ini dijalankan karena dia membuat keputusan dalam keadaan tidak pasti. Wirausaha mengambil risiko yang moderat, tidak terlalu tinggi (seperti penjudi), juga tidak terlalu rendah seperti orang yang pasif (Hanafi, 2003). Dari hasil penelitiannya, McClelland (1961) menyatakan bahwa dalam keadaan yang mengandung risiko yang tak terlalu besar, kinerja wirausaha akan lebih tergantung pada keahlian- atau pada prestasi - dibanding pekerjaan lain.
Seorang wirausaha untuk melakukan inovasi atau pembaharuan perlu semangat dan aktif. Mereka bisa bekerja dalam waktu yang panjang, misal 70 jam hingga 80 jam per minggu. Bukan lama waktu yang penting, namun karena semangatnya mereka tahan bekerja dalam waktu yang panjang. Bagi individu yang memiliki n-ach tinggi tidak begitu tertarik pada pengakuan masyarakat atas sukses mereka, akan tetapi mereka benar-benar memerlukan suatu cara untuk mengukur seberapa baik yang telah dilakukan.
Dari penelitiannya, McClelland menyimpulkan bahwa kepuasan prestasi berasal dari pengambilan prakarsa untuk bertindak sehingga sukses, dan bukannya dari pengakuan umum terhadap prestasi pribadi. Selain itu juga diperoleh kesimpulan bahwa orang yang memiliki n-ach tinggi tidak begitu terpengaruh oleh imbalan uang, mereka tertarik pada prestasi. Standar untuk mengukur sukses bagi wirausaha adalah jelas, misal laba, besarnya pangsa pasar atau laju pertumbuhan penjualan.
http://kuliahkomunikasi.blogspot.com/2008/11/teori-motivasi-mcclelland-teori-dua.html



motivasi berprestasi ala Prof. Dr. David C. McClelland
December 4, 2008 by nitafitria
(from http://langgengbasuki.blog.com)
Sebagaimana diketahui, dewasa ini di tengah-tengah masyarakat sedang berlangsung krisis multidimensional. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan dan berbagai bentuk penyakit sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan puluhan lagi kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah dan jutaan lainnya mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, kesulitan-kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Di sisi lain, sekalipun pemerintahan baru telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa semua ini terjadi?
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41:
“Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum: 41)
Dalam kondisi seperti itu, bagaimanakah kita harus bersikap? Menjadi orang yang tetap optimis ataukah justru menjadi pesimis? Semuanya tergantung pada sudut pandang mana yang digunakan. Sikap pesimis akan muncul pada orang-orang yang tidak mengetahui duduk masalah yang sebenarnya atau apa yang sesungguhnya terjadi, bagaimana dan dengan apa ia memecahkan masalah yang dihadapinya. Sementara, dengan mengetahui persoalannya dan memandangnya secara jernih disertai upaya terus menerus untuk mencari alternatif pemecahan, sikap optimis dapat dibangun dalam dirinya.
Mengenai pentingnya cara pandang terhadap persoalan dan sikap pribadi dalam menghadapi setiap masalah, Allah SWT memberikan menegaskan, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu suatu kaum, sehingga kaum tersebut mengubahnya sendiri” (QS. Ar Ra’du : 11). Artinya, bahwa berubah atau tidak keadaan seseorang termasuk menjadi pesimis atau optimis semua berpulang kepada yang bersangkutan. Inilah paradigma paling penting yang harus dipegang oleh setiap orang ketika melihat dirinya dan lingkungannya. Bahwa seseorang harus merubah dirinya (cara atau pola berfikirnya), sebelum melakukan perubahan pada keadaan hidup diri dan masyarakatnya.
Inilah tugas manusia yang sesungguhnya. Selama ia melakukan sesuatu dengan benar, hasil bukanlah segalanya. Namun, sunnatullah telah menggariskan bahwa sesuatu yang benar dan dijalankan dengan benar akan memberikan hasil yang lebih baik. Kalau toh tetap gagal, itu hanyalah keberhasilan yang tertunda. Maka alangkah bijaknya ungkapan yang menyatakan: Orang yang mencoba mengubah diri dan masyarakat namun gagal adalah lebih baik daripada orang yang enggan mengubah dirinya sendiri. Jadi, setiap orang harus terus berubah. Menuju keadaan yang lebih baik. Hanya orang yang hari ini lebih baik dari hari sebelumnya saja, yang menurut Rasulullah, disebut beruntung. Kalau sama merugi. Kalau lebih jelek, celakalah orang itu. Pertanyaannya, akankah seseorang memiliki kehidupan yang lebih baik jika ia tidak pernah berupaya untuk mengubahnya? Maka, sebuah syarat yang harus dilalui manusia yang menginginkan perbaikan adalah perubahan. Tidak ada perbaikan tanpa perubahan dan tidak ada perubahan tanpa motivasi dan upaya sungguh-sungguh untuk mengubahnya.
Memilih Motivasi Yang Benar
Motivasi merupakan dorongan untuk berbuat yang berasal dari dalam diri manusia. Motivasi dalam suatu perbuatan memegang peran sangat penting. Kuat lemahnya upaya yang dikerahkan seseorang dalam mengerjakan sesuatu sangat ditentukan oleh motivasinya. Oleh karena itu, mengetahui dan membina motivasi yang benar adalah suatu kemestian bagi siapa saja yang ingin meraih keberhasilan.
Motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni:
1. Motivasi fisik - material.
Manusia terdorong untuk melakukan suatu perbuatan bisa karena keinginan untuk mendapatkan imbalan fisik material, misalnya dengan terpenuhinya kebutuhan jasmani, baik berupa barang atau uang. Motivasi seperti ini sangat lemah dan sifatnya sangat sementara. Misalnya orang yang melakukan sesuatu untuk sekadar mendapat makanan guna menutupi rasa lapar, maka ketika sudah kenyang ia akan kehilangan motivasi. Sebaliknya, ia pasti akan kehilangan motivasi untuk melakukan perbuatan yang justru membuat ia lapar, misalnya berpuasa. Apalagi memperjuangkan suatu kebenaran, yang mungkin akan membuatnya menderita. Jadi, motivasi fisik material sekalipun ada dan memang perlu, tapi sulit untuk dikembangkan untuk menjadi pendorong utama bagi manusia dalam berusaha.
1. Motivasi psiko-emosional
Motivasi psiko-emosional akan menggerakkan manusia untuk berbuat karena suatu kondisi kejiwaan yang ingin dimiliki seseorang ini seperti rasa kebahagiaan, kehormatan, kebanggaan dan sebagainya. Orang sering menyebutnya kepuasan batin. Misalnya, seseorang berani melakukan perlawanan keras terhadap orang yang dinilai telah merusak nama baiknya. Atau berjuang mati-matian dengan mempertaruhkan harta dan jiwa demi menjaga kemerdekaan. Dan sebagainya. Motivasi ini meski lebih kuat bila dibandingkan dengan motivasi fisik - material, sebenarnya juga masih lemah dan sementara sifatnya.
1. Motivasi spiritual atau ruhiyah
Inilah motivasi terkuat yang terdapat pada diri manusia. Motivasi ini dibangun oleh kesadaran seorang muslim dalam hubungannya dengan Allah SWT. Dzat yang menciptakan manusia, menghidupkan, memberi rizki dan mematikan serta akan meminta pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya di dunia. Motivasi ibadah dan pertanggungan inilah yang mampu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan apa saja, meski harus mengorbankan harta, tenaga dan nyawa sekalipun, selama berjalan dalam batas yang diperintahkan Allah SWT. Inilah konsep lillahi Ta’ala (demi Allah semata). Bila ditanamkan, dibina dan dijaga dengan sebaik-baiknya, motivasi ini akan mampu membentuk pribadi yang konsisten, teguh dan berani. Pada masa Rasulullah, motivasi ini mampu menggetarkan musuh pada Perang Badar meski pasukan musuh berjumlah tiga kali lipat dari pasukan kaum Muslimin. Pada masa sekarang, kita dapati pada pejabat yang jujur. Mereka berani menolak uang suap milyaran rupiah meski sesungguhnya dari segi materi uang sebanyak itu tentu sangat menggiurkan. Tapi keimanannya kepada Allah mencegahnya untuk berbuat seperti itu.
Maka, motivasi yang harus dibangun oleh setiap manusia dalam mewujudkan aktivitas kehidupannya adalah motivasi spiritual semata. Dengan motivasi ini, seseorang akan terpacu untuk berikhtiar terus-menerus disertai dengan sikap tawakal dan pantang berputus harapan hingga akhirnya meraih keberhasilan dengan izin Allah Yang Maha Pemurah lagi Penyayang. Inilah motivasi berprestasi yang sesungguhnya.
Tujuan Perbuatan Manusia
Selain motivasi perbuatan, setiap manusia dituntut pula untuk mengetahui tujuan dari setiap perbuatannya, sehingga ia mampu menghasilkan sesuatu dengan baik. Tanpa adanya pemahaman tentang tujuan perbuatan itu, seseorang tidak akan dapat menentukan apakah ia berhasil ataukah tidak. Manusia juga akan sangat mudah terjebak untuk melakukan segala sesuatu hanya karena dasar materi belaka sebagaimana perilaku kebanyakan orang dalam era materialisme sekarang ini.
Nilai-nilai yang dapat diraih manusia antara lain:
1. Nilai Materi.
Beberapa aktivitas manusia di antaranya memang akan memberi hasil berupa materi semisal uang dan harta kekayaan lainnya. Contohnya adalah bekerja. Dengan memahami bahwa bekerja adalah untuk memperoleh materi, maka seseorang akan mengarahkan usaha dagangnya untuk memperoleh keuntungan, usaha pertaniannya untuk memperoleh hasil panen yang baik, jika bekerja untuk orang lain ia akan bekerja dengan sebaik-baiknya agar dapat menerima upah atau gaji dan sebagainya.
2. Nilai Kemanusiaan
Nilai ini berupa layanan atau sikap baik manusia kepada sesama manusia. Misalnya, membantu orang-orang yang kesulitan materi, menyelamatkan orang yang tenggelam, dan sebagainya. Semua ini dilakukan semata karena unsur kemanusiaan dan bukan untuk memperoleh nilai materi.
3. Nilai Akhlaq
Nilai akhlaq akan dicapai manakala dalam setiap perbuatan dihiasi dengan sifat-sifat (akhlaq) sesuai yang diperintahkan Allah SWT. Sikap jujur, amanah, peduli, menepati janji, sopan, tawadlu’ dan sebagainya merupakan sifat baik yang tidak memiliki nilai materi. Dengan kata lain, adalah tidak tepat jika seseorang menampakkan jujur dalam berdagang atau amanah dalam melakukan tugas karena ingin memperoleh keuntungan materi. Meski akhlaq juga berimplikasi positif terhadap perolehan nilai lainnya.
1. Nilai Spiritual
Nilai spiritual dicapai dengan tujuan agar (kesadaran) hubungan seseorang dengan Tuhannya dapat meningkat. Nilai ini bersifat pribadi, sebab hanya dia yang dapat merasakannya, orang lain tidak. Misalnya ketika orang melakukan shalat, membayar zakat, berhaji dan sebagainya.
Bagaimana Seharusnya Manusia Berbuat
Sebagaimana telah diketahui, ketika menciptakan manusia, Allah SWT melengkapinya dengan potensi-potensi kehidupan yang secara fitri akan mendorongnya untuk beraktifitas mewujudkan visi dan misi penciptaannya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Potensi kehidupan yang dimaksud berupa kebutuhan jasmani dan naluri.
Kebutuhan jasmani dapat berupa rasa lapar, haus dan keinginan buang hajat besar dan kecil, sementara naluri terdiri dari naluri beragama (gharizatu al-tadayun) yang perwujudannya berupa kecenderungan manusia untuk melakukan ibadah atau aktifitas mensucikan segala sesuatu yang dianggapnya besar; naluri melangsungkan keturunan (gharizatu al nau’) dimana perwujudannya diantaranya berupa ketertarikan manusia kepada lawan jenisnya; dan naluri untuk mempertahankan diri (gharizatu al baqa’), yang salah satu wujudnya adalah keinginan manusia untuk menjadi pemimpin.
Kebutuhan jasmani dan naluri itu menghendaki pemenuhan. Perwujudannya melalui tindakan dan usaha manusia. Persoalannya kemudian adalah bagaimana cara manusia memuaskan semua kebutuhan jasmani dan naluri-naluri itu. Bagi seorang muslim, upaya memenuhi dan menyalurkan segenap potensi kehidupan itu semestinya senantiasa harus berlandaskan pada aturan-aturan syariat Allah. Upaya pemenuhan i kebutuhan jasmani dan naluri dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan Allah berarti bertentangan dengan hakikat visi dan misi penciptaan manusia itu sendiri.
Bila diperhatikan secara seksama, setiap manusia dalam melakukan setiap perbuatan akan melewati tahapan berikut, yaitu
1. Berawal dari naluri atau kebutuhan jasmani,
2. Mengindera dorongan yang muncul, berupa naluri atau kebutuhan jasmani,
3. Menetapkan motivasi perbuatan,
4. Berfikir tentang cara memenuhi dorongan dengan benar, baik dan sempurna sesuai dengan tuntunan syariah,
5. Usaha apa yang diperlukan untuk memenuhi naluri dan/atau kebutuhan jasmani,
6. Berupaya mendapatkan nilai yang ingin dicapai.
Karakter Pemimpin
Prof. Dr. David C. McClelland, psikolog dari Universitas Harvard pada tahun 1961 merilis sebuah teori yang disebut motivasi berprestasi. Teori ini bermakna suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Dari penelitiannya - juga Murray (1957) serta Miller dan Gordon (1970) - dapat disimpulkan terdapatnya hubungan yang positif antara motivasi berprestasi dengan pencapaian prestasi. Artinya, manajer yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi kerja tinggi, dan sebaliknya mereka yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi berprestasinya juga rendah. Dan ternyata, motivasi berprestasi seseorang sangat berhubungan dengan dua faktor, yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. Artinya, orang akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa. Ia akan mampu mencapai prestasi maksimal. Hal ini karena ia didukung oleh dua kemampuan yang berasal dari kedua faktor tersebut. IQ merupakan kemampuan potensi dan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Menjadi “Manusia Pembangun”
Dalam kondisi faktual seperti sekarang ini, sesuai dengan paradigma perubahan seperti telah dijelaskan di atas, maka harus dicetak “manusia-manusia pembangun” yang akan menggerakkan masyarakat ke arah perbaikan. Manusia pembangun adalah orang yang memiliki pengetahuan, keahlian dan ketrampilan dalam bidangnya, sekaligus memiliki mental pemimpin yang memotivasi proses perbaikan kelompok masyarakat di mana ia berada. Misalnya, dalam kelompok petani, kelompok wanita, kelompok remaja, perkumpulan guru-guru, perkumpulan rekan sekerja, kelompok mahasiswa, kelompok pelajar, atau yang lainnya. Ia memiliki kesadaran dan perhatian baik pada diri sendiri maupun orang lain dan memiliki motivasi untuk berprestasi.
Seorang pemimpin yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi memiliki karakteristik, antara lain:
1. memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi;
2. memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya;
3. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapi-nya;
4. melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuas-kan;
5. mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.
Sebaliknya pemimpin yang motif berprestasinya rendah, dicirikan oleh sejumlah hal berikut :
1. kurang memiliki tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan suatu aktivitas;
2. memiliki program kerja tetapi tidak didasarkan pada rencana dan tujuan yang realistik serta lemah rnelaksanakannya;
3. bersikap apatis dan tidak percaya diri;
4. ragu-ragu dalam mengambil keputusan;
5. tindakannya kurang terarah pada tujuan.
Pembangunan masyarakat hanya dapat digalakkan oleh manusia-manusia yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya. Antara lain, ia harus mengenali diri sendiri dengan baik, dapat menerima dirinya sendiri dengan segala kelemahan dan keunggulan, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, tidak mudah terpengaruh, tidak mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan kelompok atau masyarakat umum.
Kelompok yang berfungsi dengan baik maksudnya adalah adanya satu kelompok yang anggotanya mempunyai motivasi yang jelas, yang bekerja secara terkoordinasi, terarah, dan teratur, dan yang tidak terhambat oleh emosi, masalah-masalah pribadi atau masalah interaksi. Kelompok ini memperhatikan tugasnya maupun manusianya. Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi adalah adanya masalah pada diri manusianya yang mengakibatkan tugas kelompok terganggu.
Di samping mempunyai sifat seperti dijelaskan di atas, penggerak masyarakat diharapkan supaya:
1. dapat mengatasi perselisihan;
2. dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat;
3. dapat berpikir kreatif untuk mendorong dan merangsang orang lain;
4. dapat merencanakan sesuatu dengan orang lain;
5. mampu berunding dan bekerja sama dengan siapa pun;
6. dapat mengurangi hambatan untuk bekerja sama di dalam kelompok tempat ia bekerja;
7. dapat mengamati dan menangkap proses serta perkembangan di dalam kelompok;
8. dapat berkomunikasi dengan jelas dan efektif;
9. bersedia untuk memberi dan menerima umpan-balik (feed-back);
10. bersedia untuk membagi pengetahuannya;
11. menganggap orang lain sebagai partner yang berhak sama, bukan sebagai anak buah (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah).
Penutup
Dengan demikian, menjalankan pembangunan tidaklah dapat dilaksanakan dengan seadanya. Dibutuhkan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan unggul. Dan hal ini harus dipelajari dan dikembangkan melalui proses pembelajaran terus menerus dan tidak terbatas pada lembaga formal. Dengan upaya ini, insya Allah sedikit demi sedikit masyarakat akan mengalami kemajuan. Oleh karena itu, inilah saatnya untuk mengatakan “Jika kita berfikir bisa maka Insya Allah akan bisa”.
http://nitafitria.wordpress.com/2008/12/04/motivasi-berprestasi-ala-prof-dr-david-c-mcclelland/


Apa Tujuan Pendidikan?
Kelompok Diskusi Pendidikan Inklusif di Balukistan
Pada pertengahan 2007 Departemen Pendidikan di Propinsi Balukistan dan IDP Norway meluncurkan ide-ide pendidikan inklusif di 4 SD di Quetta dan sekitarnya. 2 SD untuk anak laki-laki dan 2 SD anak perempuan. 1 SD berada di sebuah desa kecil di pinggiran Quetta, sementara yang lainnya berada di dalam pusat kota. Kepala sekolah dan guru di ke-4 SD rintisan tersebut ditanya tentang apa sebenarnya tujuan pendidikan itu. Mengapa kita mengirimkan anak kita ke sekolah? Apa yang ingin kita capai melalui pendidikan? Ini adalah jawaban-jawaban mereka:
1. Mendorong persatuan, rasa hormat dan pengertian di masyarakat yang membawa kehormatan dan kewibawaan bangsa.
2. Menciptakan kesadaran semua anak tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, menghormati kebebasan berekspresi dan hak azasi manusia di generasi mendatang.
3. Membantu semua anak mengembangkan kemampuan secara penuh di bidang akademis, sosial, emosional dan fisik yang memperbaiki kesejahteraan mereka serta kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
4. Membantu anak menjadi manusia yang baik, melayani masyarakat, negara dan semua segi kemanusiaan serta meningkatkan wawasan luas sebagai warganegara.
5. Menyiapkan anak bagi kehidupan agar dapat berhasil menghadapi tantangan, mengatasi rintangan dan memberi kepemimpinan kepada lainnya.
6. Menyiapkan profesional yang tepat bagi negara dan secara aktif berpartisipasi dalam pembangunan yang berkelanjutan bagi Negara Pakistan.
7. Membangun karakter dan mengembangkan rasa percaya diri pada semua anak.
8. Membantu anak menjadi penegak hukum dan warga negara yang bertanggungjawab, belajar mengenal mana yang benar dan salah, mengembangkan disiplin diri, tepat waktu, mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
9. Mendukung anak mengembangkan gaya hidup sehat dan bersih.
10. Mendukung anak menjadi Muslim yang baik, meningkatkan kesadaran tentang prinsip dan pengajaran yang Islami. Sementara anak-anak dengan latarbelakang agama lain harus belajar untuk mengikuti prinsip dan pengajaran berdasar keimanan mereka.
Kami [kepala sekolah dan guru dari 4 SD rintisan] semuanya setuju bahwa dengan cara kami mengajar, dengan kurikulum saat ini, begitu pula dengan cara kami menilai anak kami melalui ujian yang berat, kami tidak akan pernah dapat mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Penerapan pendidikan inklusif dan ramah anak akan membantu sekolah kami untuk menanggapi dengan lebih baik kebutuhan anak, keluarga mereka dan masyarakat serta membantu kami untuk mendidik generasi mendatang anak Pakistan yang dapat membantu membangun bangsa. Menjadi kepentingan yang sangat besar bagi semua anak untuk diberi kesamaan hak untuk mengakses pendidikan berkualitas di tempat tinggal dan masyarakat mereka, tanpa memandang gender, kemampuan, kecacatan dan latarbelakang mereka. Langkah-langkah yang kami buat di Quetta mungkin hanya langkah kecil, namun kami telah memulai perjalanan Menuju Inklusi dan mencapai tujuan sesungguhnya dari pendidikan bagi anak-anak kami.


http://www.idp-europe.org/eenet/newsletter6_indonesia/page16.php




Masyarakat Madani ala PLS-reg
3 Desember 2007 — tafany
By Ana Agustini, Apriyanti, Muhammad, Siti Khotipah
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
Hingga saat ini masyarakat madani masih menjadi wacana. Di samping itu, masyarakat madani sering dikatakan sebuah masyarakat yangdiimajinasikan, karena sepanjang sejarah islam masyarakat madani baru terwujud pada masa Rasullah di Madinah al-Munawwarah.Justru kata madinah menunjukkan masyarakat yang madani (beradab). Apa sesungguhnya masyarakat madani, bagaimana konsepnya, serta bagaimana masyarakat islam mewujudkannya? persoalan itu akan dijelaskan pada uraian berikut.
1. Pengertian Masyarakat Madani
Secara etimologis,masyarakat madani berarti masyarakat kota(mujtama’al-madani)atau masyarakat utama(mujtama al-fadhilah/khaira ummah). Istilah mujtama’al-madani digunakan oleh cendikiawan muslim malaysia,Naquib Al-Attas,kemudian diperkelankan oleh Anwar Ibrahim(mantan wakil perdana menteri malaysia)kepada masyarakat indonesia. Selanjutnya istilah itu banyak digunakan oleh cendikiawan muslim modernis,seperti Nurcholis Madjid dan Dawan Raharjo. Sedangkan istilah mujtama’al-fadhilah digunakan para filosofi muslim,seperti Al-Farabi dan istilah khaira ummah,pernah digunakan Muhammadiyah.Masyarakat madani adalah suatu masyarakat ideal yang didalamnya hidup manusia-manusia partisipan yang masing-masing diakui sebagai warga dengan kedudukan yang serba serta dan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban. Masyarakat madani (almujtama’al-madani) adalah masyarakat bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarkat memiliki motivasi dan inisiatif indivudual. Masyarakat madani adalah masyarakat yang secara umum memiki ciri-ciri berbudaya, berperadaban, demokratis, dan berkeadilan. Masyarakat madani adalah masyarakat masyarakat yang berperadaban(ber-“madaniyah”), karena tunduk dan patuh pada ajaran kepatuhan yang dinyatakan dalam supermasi hhukum dan peraturan.
1. Konsep Masyarakat Madani dan Karakteristiknya.
Anwar Ibrahim merumuskan masyarakat madani adalah suatu sistem sosial yang subur yang didasarkan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat, serta masyarakat mendorongan daya usaha dan inisiatif individu, baik dari segi pemikiran, seni, ekonomi, maupun taknologi. Sistem sosial yang subur dalam pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang, bukan nafsu atau keinginan individu, serta menjadi kecenderungan dan ketulusan satu sistemnya.Oleh karena itu konsep masyarakat madani mengacu pada model ideal kehidupan masyarakat madinah pada zaman Nabi Muhammad saw, yang berdasrkan pada suatu konstitusi yang bernama piagam Madinah, maka karekteristik masyarakat madani diukur dengan piagam madinah yang berjumlah 47 pasal. Berdasarkan konstitusi tersebut, dapat diketahui bahwa diantara karakteristik masyarakat madani yaitu:a. Masyarakat majemuk(pluralistik) yang terdiri dari berbagai ikatan keluarga besar, suku, agama, yang tidak menentang ajaran allah.b. Semua anggota masyarakat yang mempunyai kedudukan yang sama, sehingga wajib saling menghormati dan bekerjasama, serta tidak ada dari mereka yang diperlakukan diskriminatif, bahkan orang yang lemah sekalipun harus dilindungi dan dibantu.c. Adanya pengakuan dan perlindungan negara dalam menjamin kebebasan menjalankan ibadah kepada setiap pemeluk agama yang berbeda.d. Adanya supermasi hukum; semua anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum.e. Hukum adat dengan berpedoman pada kebenaran dan keadilan, tetap diberlakukan.f. Adanya ketaatan setiap anggota masyarakat pada konstitusi.g. Semua warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap neagara, yaitu dalam mempertahankan negara dengan harta dan jiwa mereka, serta mengusir setiap agresor yang mengganggu stabilitas negara.
http://tafany.wordpress.com/2007/12/03/masyarakat-madani-ala-pls-reg/


CIRI-CIRI MASYARAKAT MADANI
Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang identik dengan negara. Dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara serta keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat.
Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi, memiliki pengertian kesejagatan, mampu dan mau silih asah-asih-asuh antara sejawat, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya.
Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut :
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : (1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(2) Pers yang bebas
(3) Supremasi hukum
(4) Perguruan Tinggi
(5) Partai politik
3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi


Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman, pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya sebagai berikut :
1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan
2. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang “teraniaya”, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak dan lain-lain)
3. Sebagai kontrol terhadap negara
4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group)
5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara assosiasi tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya.
http://www.crayonpedia.org/mw/Ciri-Ciri_Masyarakat_Madani



Apakah keadilan itu ada ? menurut kalian apasih keadilan itu ?
banyak orang bilang ITU ADIL, INI ADIL,ato apalah pokoknya harus adil !! bagi siapa !
so jadi apa memang demikian keadilan itu ?



Jawaban Terbaik - Dipilih oleh Suara Terbanyak
Ikutan berbagi, Bro...

Paling tidak ada tiga makna keadilan :

Pertama, adil dalam arti "sama". Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak
Dalam surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa: "Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil..."
Kedua, adil dalam arti "seimbang". Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.
Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif.

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081106061145AApzNFG





Keadilan dalam Islam
Selasa, 13 Januari 2009 20:29:45 - oleh : admin
Oleh Nurul H. Maarif

1. Terma-terma Keadilan

al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân.

al-‘Adl, berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”.

al-Qisth, berarti “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. al-Qisth lebih umum dari al-‘adl. Karena itu, ketika al-Qur’ân menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang digunakan. Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...(Surah al-Nisa’/4: 135).

al-Mîzân, berasal dari akar kata wazn (timbangan). al-Mîzân dapat berarti “keadilan”. al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman: Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan). (Surah al-Rahman/55: 7).

2. Makna-makna Keadilan

Beberapa makna keadilan, antara lain;
Pertama, adil berarti “sama”

Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...” (Surah al-Nisa'/4: 58).

Manusia memang tidak seharusnya dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa, laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara.

Kedua, adil berarti “seimbang”

Allah SWT berfirman: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infithar/82: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).

Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”

“Adil” dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur, jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi.

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Allah disebut qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41: 46).

3. Perintah Berbuat Adil

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman: Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Surah al-Ma-idah/5: 8).

Dijelaskan ayat ini, keadilan itu sangat dekat dengan ketakwaan. Orang yang berbuat adil berarti orang yang bertakwa. Orang yang tidak berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak bertakwa. Dan, hanya orang adil-lah (berarti orang yang bertakwa) yang bisa mensejahterakan masyarakatnya.

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (Surah al-A’raf/7: 29). Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (Surah al-Nahl/16: 90). Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Surah al-Nisa/4: 58).

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Nisa’/4:135).

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Surah al-Hujurat/49: 9).

4. Bidang-bidang Keadilan

Beberapa bidang keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain,
Pertama, keadilan hukum

Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, itulah ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad Saw.

Diriwayatkan, pada masa beliau, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini membuat jajaran pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakim-nya.

Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong (Surah al-Ma’idah/5: 38) tangan terus menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun digalakkan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas dihamburkan untuk upaya itu.

Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?

Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang dampratan keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Itulah ketegasan Nabi dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun.

Kedua, keadilan ekonomi

Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw misalnya bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.

Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Surat al-Hasyr/59: 7).

Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”

Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri.

Ketiga, keadilan politik

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun adil), pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)

Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen bertanggungjawab pada warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Namun prinsipnya, Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya, hatta orang Habasyah (Etiopia sekarang) yang rambutnya kriting laksana gandum sekalipun. Dan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, kepemimpinannya harus ditaati.

Keempat, keadilan berteologi/berkeyakinan

Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya pada kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya dapat dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama.

Bukti kebebasan ini, antara lain: Allah SWT berfirman: Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (Surah al-Nahl/16: 125). Redaksi yang mirip bisa ditemukan juga pada Sûrah al-Najm/53: 30 dan Sûrah al-Qalam/68: 7.

Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…. (Sûrah al-Kahf/18: 29).

Tidak ada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas-jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, siapa yang ingkar kepada taghut dan yang beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Sûrah al-Baqarah/2: 256).

Yang penting diperhatikan, adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.”

Kelima, keadilan kesehatan

Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada hari kiamat: Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku. Bani Adam bertanya: Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu sedang Engkau adalah Tuhan sekalian Alam? Allah menjawab: Tidakkah kamu melihat seorang hamba-Ku sedang sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui, andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapati-Ku di sisinya? (HR. Imam Muslim).

Hadis kudsi di atas menunjukkan, jika kita “menjenguk” – dalam pengertiannya yang luas – tetangga kita yang sakit, maka kita akan menemukan Allah SWT di sana. Tidak “menjenguk”nya berarti tidak menemukan-Nya. Apa maknanya? Kita bisa merenungkannya masing-masing. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah juga wajib “menjenguk” warganya yang sakit. Siapapun dia dan apapun latar belakangnya. Cara “menjenguk”nya? Bisa saja dengan pengobatan geratis, dan sebagainya.

Keenam, keadilan pendidikan

Allah SWT berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Mujaadilah: 11). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tholabul ilmi farîdhotun 'alâ kulli muslim” (HR. Ibnu Majah). (Setidaknya) dua argumen ini, memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan, adalah hak bagi siapapun tanpa pandang latar belakang.

5. Universalisme Keadilan Islam

Keadilan dalam Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus ditegakkan.

Allah SWT berfirman: Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Surah al-An’am/6: 152).

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan. (Surah al-Hadid/57: 25).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (Surah al-Nisa'/14: 135).

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Maidah/5: 8)

Orang berbeda agama pun wajib diberi keadilan. Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan tuqsithu (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir) yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain untuk mengusir kamu... (Surah al-Mumtahanah/60: 8).

Kisah (a)
Seorang pria Mesir beragama Kristen Koptik (salah satu aliran Kristen yang berkembang di Mesir) mendatangi Umar bin al-Khattab di Madinah, yang kala itu sebagai pemimpin kaum muslim, untuk mencari keadilan.

Pria Mesir itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku mencari perlindunganmu dari penindasan.” “Kamu telah mencari perlindungan d imana ia seharusnya dilindungi,” jawab Umar.

“Ketika aku sedang berlomba dengan putra Amr bin Ash, aku berhasil mengalahkannya. Namun kemudian dia memukuli aku dengan cambuknya dan berkata: ‘aku adalah putra bangsawan’!” cerita pria Mesir mengadu.

Mendengar pengaduan itu, Umar yang dikenal adil dan bijaksana itu berang. Ia ingin memberikan keadilan pada orang Kristen Koptik itu. Umar lalu menulis surat untuk Amr bin ‘Ash (gubernur Mesir saat itu) dan memerintahkannya segera menghadap beserta putranya.

“Ke mana Pria Mesir itu? Suruh dia ambil cambuk dan pukul putra Amr!” pinta Umar. Pria Mesir itu pun menuruti perintah Umar. Ia memukuli putra Amr bin Ash dengan cambuk.

Anas berkata, “Maka dia memukuli putra Amr. Demi Allah, ketika pria Mesir itu memukulinya, kami kasihan dan meratapinya. Dia tidak berhenti sampai kami menghentikannya.”

Kemudian Umar berkata pada Pria Mesir itu, “Sekarang pukulkan cambuknya ke kepala Amr yang botak itu.”

Pria Mesir itu bingung dan menjawab, “Ya Amirul Mukminin, yang menganiaya aku itu putranya, dan aku telah menyamakan kedudukanku dengannya.”

Umar lantas bertanya pada Amr bin ‘Ash, “Sejak kapan kamu telah memperbudak rakyatmu, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka?”

“Ya Amiral Mukminin, aku telah lalai dan pria Mesir itu tidak mendatangiku untuk mendapatkan keadilan,” jawab Amr.

Kisah (b)
Ali bin Abi Thalib (Khalifah Islam ke-4), pernah menemukan baju besinya di rumah seorang Yahudi. Maka Ali mengadukan Yahudi itu ke pengadilan karena diduga mengambil bajunya. Sayangnya, Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu miliknya. Maka hakim memutuskan, yang salah adalah Ali dan yang berhak atas baju itu adalah Yahudi. Ali pun menerima keputusan pengadilan itu, kendati posisinya sebagai kepala negara dan yang dihadapi rakyatnya sendiri.

6. Pelaksana Keadilan

Islam hanya menekankan prinsip keadilan dan pentingnya keadilan bagi semua. Perihal bagaimana cara mendapatkan keadilan, itu sepenuhnya diserahkan pada umatnya. Termasuk bagaimana membangun negara yang akan menjadi sarana tercapainya keadilan, itu juga tidak diatur oleh Islam. Mau berasas Islam, sekuler, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, dan apapun namanya, yang penting ditekankan adalah KEADILAN.

Yang jelas, siapapun kita, baik sebagai individu maupun pemerintah, harus menjadi martir penegakan keadilan sesuai jangkaun wilayah kita. “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian/kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih,” pesan Nabi Muhammad SAW.

7. Buah Keadilan

Keadilan, dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi umat. Dan ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau pemerintah. Untuk itu, tasharruf imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin bagi warganya harus diorientasikan untuk kemaslahatan mereka). Sayyidul qaum khadimuhum (pempimpin umat adalah pelayan bagi mereka). Pemimpin harus melayani umatnya untuk mendapatkan keadilan ini. Karena itu, keadilan yang berujung pada kedamaian dan kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan pribadi ataupun golongan.

Ada kisah, khalifah Harun al-Rasyid pernah disindir sufi-pembanyol Nasruddin Hoja. “Kamu pilih keadilan atau harta?” tanya khalifah. “Harta!,” jawab Nasruddin tegas.

Khalifah marah bukan kepalang. “Harusnya yang kamu pilih keadilan. Itu juga yang saya pilih,” kata khalifah berang. “Orang memang akan menginginkan apa yang tidak dimilikinya,” jawab Nasruddin ringan.

Nasruddin punya keadilan, tapi tak punya harta, makanya ia menginginkan harta. Khalifah punya harta, tapi tak punya keadilan, makanya ia menginginkan keadilan. Bagaimana kita di negeri ini? Bahkan kita tidak punya dua-duanya! Inilah cermin masyarakat yang bangkrut. Wa Allah a’lam bi al-sawab.[
http://www.kampusislam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=378


Konteks Diskursus Definisi Keadilan
Kosmologis keadaan sesuatu yang seimbang
Sosiologis persamaan dan penafian atas segala bentuk diskriminasi dan pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya
Teosofis Memelihara hak bagi kelanjutan eksistensi



Keadilan Sosial

Dalam tema keadilan, yang dipaparkan Mutahhari tersebut, Cak Nur lebih banyak menyoroti masalah keeadilan sosial (pengertian keadilan kedua). Cak Nur, menemukan bahwa ide keadilan sosial dalam Islam dapat dijumpai dengan mudah dalam al-Quran,[v] terutama dalam ayat-ayat Makkiyah.[vi] Secara terang-terangan, al-Quran mengutuk individu dan masyarakat yang anti-keadilan, dengan sistem ekonomi yang tidak produktif dan egois. (QS. Al-Takatsur dan al-Humazah, at- Taubah: 34-35).[vii]

Bagi Cak Nur, keadilan sosial sejalan dengan egalitarianisme radikal sebagai konsekuensi agama monoteis. Seperti diketahui, dalam agama monoteis, keadilan merupakan misi profetik, tugas suci para Nabi. Efek sikap ini bukan hanya tampak pada efek-langsung pada bidang ekonomi, tapi juga dalam budaya dan seni. Ekspresi tersebut tergambar misalnya dalam ikonoklasme, terutama pada gambar representasi simbolik dan emblematik, dan magis. Ide dasar sikap ini adalah bahwa magisme menghalangi manusia dari mencapai keadilan berdasarkan persamaan dan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terawasi (terkontrol). Karena itu, seni yang berkembang adalah seni abstrak. Menariknya, seni abstrak tersebut berkembang di kalangan penduduk kota (urban) karena lingkungan mereka lebih bebas dari mitos alam. Islam sebagai gejala kota lebih tercermin dalam mekantilisme yang ditopang paham persamaan manusia: persamaan kesempatan, selain hak dan kewajiban. [viii]

Selanjutnya, Cak Nur menegaskan, Islam tidak mendukung cita-cita ekonomi komunis,”sama rata sama rasa”, sebab Islam menghargai prestasi individual. Karena itu, agar tidak terjadi ketimpangan, dibuat aturan dengan ketentuan halal- haram dalam perolehan ekonomi dan tidak boleh ada pembenaran struktur atas terhadap praktik penindasan.[ix]

Bagaimana pola penggunaan kekayaan yang mencerminkan keadilan? Cak Nur memulai elaborasinya dengan menjelaskan makna generik ”adil”. Menurut Cak Nur, kata adil (bahasa Arab) berarti sesuatu yang sedang, seimbang, wajar. Begitu pula kata just (bahasa Inggris) yang bermakna wajar, justice (keadilan) ialah kewajaran. Pola penggunaan kekayaan yang memenuhi kewajaran adalah ”suatu keadaan yang dapat di terima oleh semua orang dengan penuh suka kerelaan dan kelegaan. Pola tersebut ialah pola prihatin. Dalam kepribadian dan keprihatinan terdapat unsur dan semangat solidaritas sosial: suatu sikap yang selalu memperhitungkan dan memperhatikan keadaan kepentingan orang banyak; tidak egois atau berpusat pada diri sendiri. Dengan keprihatinan, harta kita sendiri kita gunakan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar, tak lebih dan tak kurang, menyisihkan sebagian untuk mendorong pruduktivitas umpamanya, dengan sistem tabungan, dan mengeluarkan sebagian lagi untuk kepentingan langsung sosial. Dengan menekan penampakan mencolok kekayaan, satu lagi hal didapat: mengurangi sumber ketegangan-ketegangan sosial yang amat berbahaya. ” Cak Nur merujukkan penjelasannya tersebut kepada al-Quran, QS. Al-Furqan (25): 67.[x]

http://ruhullah.wordpress.com/2008/09/11/keadilan-sosial-dan-sosialisme-religius-gagasan-pinggiran-nurcholish-madjid/


Adil dan Berbuat Adil
Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar kata keadilan.
Sekedar gambaran, bolehlah timbangan dengan dua buah timbang di sisi kanan kirinya, mendatar dan sama mewakili pengertian keadilan yang umum dipahami. Satu sisi timbangan adalah pekerjaan, satu sisi lainnya imbalan. Apa yang kita rasakan ketika memperoleh hasil sesuai dengan apa yang kita lakukan. Seimbang dengan keringat yang kita cucurkan. Setara dengan perjuangan yang kita lakukan.
Tentu, ada rasa kepuasan, nikmat dan syukur yang tiada tara. Yang kemudian tercipta pola kehidupan yang kita merasakan damai did alamnya.
Membuat timbangan itu seimbang dan sama tentu bukan pekerjaan yang mudah. Ada tantangan, ada nafsu duniawi, kepentingan diri sendiri untuk lebih unggul, lebih banyak menerima bagian, lebih banyak mengeruk keuntungan yang seharusnya menjadi milik keluarga, teman, tetangga bahkan masyarakat kita.
Sabda Nabi yang mengingatkan setan itu adalah diri kita sendiri bukanlah sekedar pemanis ucapan semata. Terbukti, dalam realitas kehidupan kita, semakin jauh rasanya mengecap makna keadilan itu, semakin banyak orang berteriak tangan kanannya mampu memberi dan berbuat adil, padahal tangan kirinya menindas dan mencekik kaum papa. Jika demikian, apa makna ajaran agama yang menyerukan keadilan jika kita sendiri tidak mampu berbuat adil, terutama pada sendiri. Mari kita coba bertanya pada nurani kita sebenarnya.
Lisa N. Humaidah

KAJIAN
________________________________________
Islam dan Tantangan Keadilan Sosial
Salah satu persoalan terbesar yang tengah dihadapi ummat Islam adalah masalah keadilan sosial. Memang, kalau kita mendengar isu ataupun seruan untuk keadilan sosial, boleh jadi kita merasa seperti tak ada persoalan. Tetapi, jika dihadapkan dengan kanyataan, maka berbagai persoalan akan segera menerpa. Misalnya, di dunia Muslim banyak terjadi kedzaliman sosial (ketidakadilan) yang sangat mencolok mata tapi justru seolah dibenarkan oleh pemahaman fiqih sempit, bukan fiqih secara umum. Taruhlah seperti penganiayaan terhadap para TKW di Arab Saudi yang di antaranya karena dianggap sebagai budak (amat); pelarangan terhadap hak-hak publik dan politik wanita, misalnya untuk menjadi presiden atau untuk bekerja seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Taliban di Afghanistan; anggapan umum bahwa laki-laki lebih unggul dibanding wanita; diskriminasi terhadap non-muslim di dalam hukum jinayat (“pidana”); dan sebagainya.
Persoalannya, jika Islam benar-benar menghendaki keadilan, tapi sebagian Muslim telanjur mempercayai fiqih (sempit) yang antikeadilan itu, lalu bagaimanakah solusi terbaiknya? Bahkan, jika dikaitkan dengan aspirasi penerapan syariat Islam yang belakangan semakin menguat di beberapa daerah, seperti di Aceh, Cianjur, Sulawesi Selatan dan sebagainya, maka persoalan itu terasa lebih mendesak. Dalam pandangan Islam, penerapan syariat Islam tentu mulia: ingin menerapkan “hukum” Islam yang diyakini akan membawa keadilan. Tetapi, jika “hukum” Islam itu disalahpahami sebagai, atau disamakan dengan fiqih/syariat (sempit), maka yang akan terjadi justru sebaliknya: pelanggaran-pelanggaran sosial yang jelas-jelas dilarang Islam akibat penerapan syariat itu, seperti pemaksaan agar perempuan tidak keluar rumah, pemaksaan untuk memakai jilbab, dan sebagainya. Lebih runyam lagi kalau aspirasi itu kemudian ternyata hanya dijadikan tunggangan kepentingan politik segelintir orang. Setidaknya hal ini terlihat misalnya dari kenyataan bahwa aspirasi penerapan syariat Islam itu seringkali muncul berbarengan dengan pergantian kekuasaan di daerah bersangkutan.
***
Menurut Islam, seluruh Nabi diutus untuk menegakkan keadilan (QS 57: 25). Karena itu, keadilan dengan sendirinya bersifat universal: ia harus ditegakkan di manapun kapanpun dan kepada siapapun. Untuk menegakkan keadilan tersebut maka setidaknya ada empat kebebasan atau hak asasi, setiap orang, siapapun dia, kafir ataupun Muslim, wanita ataupun laki-laki, yang harus selalu dilindungi, yakni: 1) kebebasan/hak untuk hidup (QS 5: 32); 2) kebebasan/hak beragama (QS 2: 256); 3) hak mencari nafkah atau hak milik (QS 70:24-25; 2:275-8); 4) harga diri (2:30). Begitu fundamental dan universalnya hak-hak ini sehingga dalam konteks sosial kemasyarakatan, ia lebih dikedepankan bahkan ketimbang keimanan sekalipun. Artinya, keadilan merupakan prinsip yang mau tak mau harus diberlakukan untuk semua orang, sebab bila ada yang dikecualikan akan selalu berarti pelanggaran terhadap hak orang lain; karena itu ia harus selalu ditegakkan bahkan bila perlu dengan memakai kekerasan (QS 57:25), sementara keimanan sama sekali tak bisa dipaksakan (QS 2:256; 18:29). Nabi juga sempat mewanti-wanti umatnya agar tidak mendzalimi orang sekalipun kafir. Sabda: “Takutlah terhadap doa orang yang didzalimi (dilanggar hak-hak asasinya), walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara doanya dan Allah” [hadis dikutip dari Dr.M.Quraish Shihab, MA, Wawasan Al-Quran, Mizan 1999,h. 118]
Menurut Fazlur Rahman, ulama dan sarjana besar asal Pakistan, salah satu sebab kenapa universalitas keadilan itu belum sepenuhnya bisa ditangkap (sebagian) kaum Muslim adalah karena mereka terlalu terpaku pada penafsiran yang tekstual dan parsial. Misalnya sebagai contoh yang sangat mencolok adalah soal perbudakan. Selama masa kenabian Al-Quran telah jelas-jelas memperjuangkan penghapusan perbudakan. Tetapi, karena waktu itu institusi perbudakan telah begitu mengakar kuat, dan perombakannya secara mendadak hanya akan menimbulkan kekacauan sosial yang lebih besar, maka Al-Quran pun tak bisa langsung menghapuskannya. Maka sebagai alternatifnya Al-Quran menerima institusi perbudakan itu sebagai sah secara hukum (QS 4:24-25), tapi secara moral ia sangat menggalakkan pembebasan (QS 90:13; 5:89; 58:3; 24:33). Sayangnya, banyak ahli hukum yang secara parsial hanya memperhatikan bunyi tekstual hukum itu sambil mengabaikan semangat moral pembebasannya. Akibatnya, mereka mensahkan perbudakan itu dan sebagian kaum Muslim pun menerimanya.
Begitulah, masih banyak aspek-aspek keadilan Al-Quran yang terkubur oleh penafsiran harfiah dan parsial. Misalnya: kesetaraan gender (4:124; 40:40; 33:35) oleh bunyi harfiah ayat poligami (4:3) dan ayat kepemimimpinan laki-laki (2:228); perlindungan terhadap hak asasi non-muslim (lihat empat hak asasi di atas) oleh bunyi harfiah ayat-ayat jihad, pemerataan sosial ekonomi (59:7) oleh distribusi zakat versi sebagian fiqih yang diskriminatif; larangan penghisapan ekonomi (riba) oleh perdebatan fiqih tentang haram tidaknya bunga bank; dan seterusnya.
***
Akhirnya, untuk tak terjebak pada fiqih (sempit) memang tidak gampang. Diperlukan cukup banyak pengetahuan tentang Al-Quran dan sumber lainnya. Tetapi, sekadar untuk tidak terjebak dan mau mengerti banyak tentang fiqih yang berkeadilan, kaum muslim di Tanah Air sebenarnya memiliki cukup alternatif. Misalnya dengan cara mendialogkan berbagai isu modern itu dengan pemikiran para pendekar fiqih (berkeadilan), seperti M. Quraish Shihab, K.H. Ali Yafie, Cak Nur (Prof. Dr. Nurcholish Madjid), Farid F. Masudi dan seterusnya. Wallahu A‘lam []
Cecep Ramli Bihar Anwar. Koordinator Divisi Penerbitan IIMaN (Indonesian Islamic Media Network) dan mahasiswa Pasca IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
http://mimbarmasjid.tripod.com/tigabelas.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar