Senin, 17 Mei 2010

filsafat

Idealisme (Plato) vs Realisme (Aristoteles)

Dr. Alex Lanur
 
Kerangka:
 
1. Dua pemikir pendahulu
    a. Herakleitos (500 SM)
    b. Pamenides (480 SM)
 
2. Plato (428/7 - 348/7 SM)
    a. Dua macam pengetahuan
    b. Dua macam dunia
    c. Hubungan antara kedua dunia itu
    d. Hirarki antara idea-idea
    e. Kedudukan manusia
 
3. Aristoteles (348 - 285/6 SM)
    a. Hubungannya dengan Plato
    b. Teorinya sendiri
       1) Materi dan forma
       2) Tingkat-tingkat pengetahuan
       3) Penyebab-penyebab
       4) Perubahan atau gerakan
       5) Perubahan substansial - aksidental
       6) Substansi dan aksiden
       7) Penggerak pertama yang tidak digerakkan
       8) Pandangannya tentang manusia
 
4. Beberapa Catatan
 
 
Penjelasan:
 
1. Dua pemikir pendahulu
    Kedua pemikir ini
 
    a. Herakleitos (500 SM)
       - Tidak ada sesuatu yang mantap, semua berubah.
       - Segala sesuatu mengalir (panta thei kai uden menei)
       - Segala sesuatu adalah banyak.
       - Pengatahuan: adalah pengetahuan inderawi.
 
    b. Pamenides (480 SM)
       - Yang ada itu ada, kekal, tak terubahkan.
       - Tidak mungkin ada kejamakan. Yang ada itu satu saja.
       - Berpihak pada pengetahuan rasional.
 
2. Plato (428/7 - 348/7 SM)
 
    a. Dua macam pengetahuan
       - Prestasi Plato: membedakan dengan tajam dan tegas:
         1. pengamatan (inderawi)
         2. pemikiran (rasional)
       - Idea (eidos): yang tetap, tidak berubah, kekal, dapat
         diketahui melalui akal budi.
       - Idea bersifat objektif. Idea mempengaruhi pemikiran manusia.
       - Idea: pola asli dari sesuatu yang ditangkap indera
 
    b. Dua macam dunia
       1. Dunia jasmani, dunia gejala -> berubah, jamak, inderawi
       2. Dunia idea: kekal, sempurna, tiada perubahan, tiada kejamakan,
          merupakan "ada" yang sebenarnya
 
    c. Hubungan antara kedua dunia itu
       - Idea tidak dipengaruhi oleh benda jasmani.
       - Idea-idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani.
       - Plato mengunkapkan hubungan itu dengan 3 cara:
         1. Idea2 hadir dalam benda2 jasmani
         2. Benda2 yang konkret mengambil bagian dalam idea2
         3. Idea2 merupakan tiruan, model, contoh
 
    d. Hirarki antara idea-idea
       - "Yang Baik" (to agathon) puncak segala idea: paling sempurna
       - "Kebaikan": puncak yang menyinari segala idea lainnya dan
         membuatnya "terkenal" untuk pikiran manusia
       - Persekutuan (koinonia): hubungan antara idea2
 
    e. Kedudukan manusia
       - Manusia masuk ke dalam dua dunia
       - Dalam diri manusia digabung dua makhluk: tubuh dan jiwa
       - Jiwa berasal dari dunia idea, sekarang terkurung dalam tubuh
       - Eros: kerindan jiwa akan pemandangan bahagia di dunia idea
       - Pengetahuan: adalah ingatan kembali (anamnesis) akan idea
         yang pernah dipandangnya
 
3. Aristoteles (348 - 285/6 SM)
 
    a. Hubungannya dengan Plato
       - Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea
       - Aristoteles: idea tidak ada, yang ada hal-hal yang konkret saja
       - Sependapat dengan Plato: ilmu berbicara tentang yang umum & tetap
 
    b. Teorinya sendiri
       1) Materi dan forma (forma-materia, morphe-hyle)
          - Setiap benda jasmani terdiri dari bentuk dan materi (bahan)
          - Materi adalah asas yang sama sekali terbuka
          - Materi adalah kemungkinan untuk menerima bentuk
          - Bentuk adalah asas yang menentukan
          - Hyle prote (materi pertama) materi
 
       2) Tingkat-tingkat pengetahuan, ada 3:
          1. Pengetahuan pengalaman (empeiria): pengetahuan tentang suatu hal
          2. Pengetahuan keterampilan (techne): untuk menghasilkan sesuatu
          3. Pengetahuan ilmiah (episteme): pengetahuan demi pengetahuan
          - Metafisika (sophia): ilmu yang tertinggi, karena mencari asas
            asas yang paling fundamental
 
       3) Penyebab-penyebab, ada 4:
          1. penyebab efisien (causa efficiens): sumber kejadian
          2. penyebab final (causa finalis): tujuan yang menjadi sasaran
             seluruh kejadian
          3. penyebab material (causa materialis): bahan pembuat benda
          4. penyebab formal (causa formalis): bentuk tertentu ditambahkan
             pada sesuatu, mis: kayu menjadi kursi kayu
          - Penyebab nomor 1 dan 2: menentukan kejadian dari luar
          - Penyebab nomor 3 dan 4: menentukan kejadian dari dalam
 
       4) Perubahan atau gerakan
          - Dalam setiap perubahan ada 3 faktor:
            1. alas yang tetap (substrat),
            2. keadaan yang lama
            3. keadaan yang baru
          - Contoh: substrat:air, perubahan: dingin->panas
 
       5) Perubahan substansial - aksidental
          - Perubahan substansial: mis. anjing jadi bangkai
          - Perubahan aksidental: mis. air dingin jadi panas
          - Perubahan substansial memerlukan: substrat, keadaan dahulu
            dan keadaan baru
 
       6) Substansi dan aksiden
          - Substansi: hal yang berdiri sendiri, dapat menerima keterangan
          - Aksiden: hal yang dikenakan pada sesuatu yang berdiri sendiri
          - Contoh: substansi: kertas, aksiden: warna merah
 
       7) Penggerak pertama yang tidak digerakkan
          - Allah: dipandang sebagai penggerak pertama yang tidak digerakkan
          - Jagat raya tidak dapat dibinasakan, gerakan adalah abadi
          - Penggerak ini dianggap sebagai Aktus Murni
          - Allah adalah pemikiran yang memandang pemikirannya sendiri
          - Penggerak tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain
            daripada dirinya sendiri
 
       8) Pandangannya tentang manusia
          - Semua makhluk hidup mempunyai dua aspek: jiwa dan badan
          - Badan adalah materi, jiwa adalah bentuknya
          - Jiwa adalah aktus pertama dari suatu badan organis
 
 
4. Beberapa Catatan
 
- Tentang akal budi dan pancaindera:
   Plato: berbeda dan berpisah.
   Aritoteles: berbeda tetapi tidak berpisah.
 
- Tentang sikap berjalan
   Plato: memandang ke atas -> ke dunia ide
   Aritoteles: memandang ke bawah -> ke dunia realitas
 
- Penekanan dalam filsafat
   Plato: membahas "kebaikan" -> kehendak
   Aristoteles: membahas "kebenaran" -> akal budi
 
- Tentang jiwa
   Plato: menganut pendapat akan kebakaan jiwa
   Aristoteles: jiwa manusia akan binasa
 
- Teori pengetahuan:
   Plato: pengetahuan adalah ingatan kembali (anamnesis)
   Aristoteles: teori abstraksi

Dalam Republic, Plato menyebutkan; sebuah negara atau Kota akan mencapai edaumonia (kesejahteraan lahir bathin) apabila dipimpin oleh seorang filsuf. Idealisme Plato merupakan konsep aposteriori bukan apriori, artinya, idealisme negara filsuf atau negara ideal bukan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Malah, sampai saat ini bisa dikatakan negara/ kota ideal yang dikumandangkan Plato sama sekali belum terwujud secara utuh.

Harus diakui, idealisme Plato tercetus karena dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi Yunani waktu itu, khususnya Athena, sebuah negara kota yang sedang mengalami krisis politik, mengarah kepada tirani karena memang dikuasai oleh para tiran yang jauh dari nurani sebagai manusia. Konsep idealisme Plato menyeruak, melawan kondisi politik waktu itu. Adalah alamiah, ketika kekacauan, pembunuhan terhadap pesaing politik, pemberangusan suara rakyat, dan munculnya potensi kejahatan lain ditafsirkan oleh para cendikiawan sebagai dunia iblis yang lahir di permukaan bumi.

Plato berpendapat, hanya seorang filsuf yang menjadi raja atau penguasa yang akan bisa mengembalikan kembali kondisi sebuah negara/ kota kepada keadaan ideal yang selalu dicita-citakan. Sebab, dalam diri filsuf tertanam sikap bijaksana, tidak mengedepankan ambisi pribadi, toleran, mendahulukan nurani dan akal, tidak terseret ke dalam nafsu binatang, dan dilengkapi oleh berbagai potensi kebaikan.

Sebaliknya, jika negara atau kota dipimpin oleh seseorang selain filsuf, maka kemungkinan besar akan lahir pula negara atau kota jahat, di mana penghuninya tidak lebih dari kumpulan manusia tanpa bentuk, kerangka yang berjalan tanpa arah, atau kumpulan/ gerombolan iblis yang menjelma menjadi manusia. Kejahatan terjadi hampir di setiap pelosok negeri, undang-undang dibuat bukan untuk ditaati melainkan untuk dipermainkan dan dilanggar. Negara / kota tentu saja akan mengarah kepada kebokbrokan moral. Prestasi tertinggi dalam kondisi seperti ini adalah perang!

Apakah, idealisme Plato benar-benar merupakan idealisme murni, konsep yang hanya ada dalam tataran wacana? Ada dua kemungkinan, benar atau salah. Benar, karena sampai saat ini kita belum menemukan negara ideal seperti yang diharapkan oleh Plato, menskipun, di zaman Nabi dan Kholifah konsep negara ideal ini sudah pernah mewujud, namun tetap saja masih belum sesuai dengan idealisme Plato. Dikatakan tidak, karena kita memang belum menemukan harapan Plato, ketika belum menemukan artinya, masih terbuka bagi kita untuk mendapatkan kembali sesuatu yang hilang itu. Adalah takdir Tuhan, sesuatu yang hilang memang harus kita temukan kembali.

Konsep demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat final. Adalah salah besar, ketika Amerika menyebutkan demokrasi merupakan hasil akhir dari bentuk pemerintahan. Demokrasi hanya merupakan salah satu silklus dari bentuk pemerintahan, pada dasarnya hanya untuk mencari siapa sebenarnya manusia pinilih yang akan menjadi dan bisa memimpin negara/ kota ini? Salah besar jika kita mengatakan demokrasi sebagai harga mati. Bahkan, bisa jadi di sana masih terdapat beberapa lobang dan celah kekurangan, seperti; kebebabasan tanpa kerangka, dalam iklim demokrasi yang kurang sehat, akan muncul para calon pemimpin yang lahir dari rahim AMBISI PRIBADI, mengatasnamakan rakyat, tentu saja akan memunculkan juga rasa pronoid kelompok , menyepelekan kelompok lain, demokrasi tanpa kerangka ini memang lahir dari ketidak mengertian semua golongan terhadap siklus bentuk pemerintahan ini/

Penulis memberi komentar, PILKADA merupakan upaya manusia untuk menemukan seorang pemimpin dengan cara penyeleksian yang ketat juga longgar tentu saja. Namun, ketika muncul para calon yang nampaknya diliputi oleh sikap ambisi pribadi, selalu ingin menjadi pemenang, tidak mau menerima kekalahan meskipun sudah bermain sesuai dengan aturan main yang jelas, penyeleksian untuk memunculkan seorang pemimpin ideal seperti idealisme Plato bisa dikatakan tidak akan optimal mewujud.

Terlebih di kelompok akar rumput. Kondisi seperti sekarang ini , kelompok akar rumput belum dikerjakan secara maksimal potensi mereka sebagai subjek-politik, bukankah sampai sekarang mereka hanya dikenal sebagai obyek politik semata? Sementara para pemain yang memiliki kepentingan-kepentingan besar, sama sekali tidak tersentuh oleh kelompok akar rumput kecuali dalam situasi-situasi tertentu saja .

Bisa jadi, dalam PILKADA kali ini, masih kecil peluang akan munculnya pemimpin ideal yang selama ini kita harapkan. Hanya saja, pemimpin ideal harus dan harus selalu kita temukan. Sekali lagi.. adalah telah menjadi Takdir TUHAN ; kita harus menemukan kembali sesuatu yang hilang. Mudah-mudahan.

Sukabumi, 02 Februari 2008
Menjelang PILKADA KOTA SUKABUMI

Epistemologi dan Pandangan Dunia

Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij). Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar dan realitas. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.

Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu?

Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresip, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini.[1] Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal.

Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2] Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai subordinat dari filsafat menjadi mesti adanya.

Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat Рyang nota-bene menggunakan akal (an-sich) Рkita harus membahas instrumen dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini. Dan hal ini merupakan raison d'̻tre pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin.[3] Walhasil, pembahasan epistemologi -sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat - harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.

Apa itu Epistemologi

Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.

Masalah-masalah Filosofis; Masa Yunani dan Masa Medieval

Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.

Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.

Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.

Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah sistem keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam otoritas skriptural sebagai nara sumber keyakinan agama.

Masa Plato dan Aristoteles

Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemologi ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia. Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana berikut ini,

Topik Pemikiran:

Pandangan tentang dunia, menurut Plato, Ada 2 dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu) sementara dalam pandangan Aristoteles, Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani.

Kenyataan sejati, menurut Plato, Ide-ide berasal dari dunia ide. Sementara dalam kacamata Aristoteles, segala sesuatu yang ada di alam bisa diindera.

Pandangan tentang manusia, menurut Plato, Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi), Jiwa terpenjara oleh badan. Sementara dalam pandangan Aristoteles, badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.

Asal pengetahuan, menurut Plato, dunia ide, namun tertanam dalam jiwa setiap manusia. Sementara dalam pandangan Aristoteles, kehidupan dunia dan alam nyata.

Cara meraih pengetahuan, menurut Plato, terpancar dari alam jiwa (Anamnesis). Sementara dalam pandangan Aristoteles, observasi dan abstraksi lalu diolah dengan logika.

Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsuf-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.

Rasio Vs Indra Persepsi

Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris (inderawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan inderawi.

Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.

Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.

Pandangan Descartes tentang manusia bersifat dualisme. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia. Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesainnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

Urgensi Epistemologi

Dunia ini penuh dengan berbagai maktab dan ideologi. Setiap ideologi berlandaskan pada suatu "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" ini berpijak pada epistemologi. Dari sini manusia mengetahui dengan jelas betapa pen­tingnya epistemologi. Seseorang yang memiliki ideo­logi materialisme, yang tentunya ideologi itu berlandaskan pada pandangan dunia materialis, dan pandangan ini juga berpijak pada suatu epistemologi khusus. Dan ideologi-ideologi yang lain, juga ber­sumber dari pandangan-pandangan dunia lain, dan pandangan-pandangan ini masing-masing berpijak pada epistemologi-epistemologi tertentu. Oleh karena itu, sebelum memasuki berbagai pembahasan berkenaan dengan ideologi dan pandangan dunia, terlebih dahulu akan dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah epistemologi.

Pada masa sekarang ini epistemologi merupakan suatu masalah yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu hal ini tidak begitu dianggap penting. Epistemologi telah dikaji sejak dahulu kala, kurang lebih sejak dua ribu tahun yang lalu. Di dalam filsafat Islam, kita tidak akan menjumpai suatu bab yang ber­judul Nazhariah al-Ma`rifah atau "Teori Pengetahuan". Tetapi sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah epistemologi, dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, pemahaman, rasio, logika, dan berbagai permasalahan tentang bentuk pemi­kiran dan yang berhubungan dengan diri dan jiwa. Oleh karena itu, sejak dahulu kala sedikit banyak mereka juga memahami masalah epistemologi, tetapi pada masa sekarang ini, pembahasan filsafat lebih banyak berputar pada masalah epistemologi.

Kemungkinan Epistemologi

Pembicaraan pertama dan klasik dalam bab epistemologi adalah mungkinkah epis­temologi itu? Mungkinkah kita mengetahui dan mema­hami hakikat alam ini? Mungkinkah kita memahami hakikat manusia? Mungkinkah mengetahui hakikat wujud ini?[4] Ada sekelompok orang yang secara total menolak adanya kemungkinan ini, dan mengatakan bahwa epistemologi tidak mungkin ada pada diri manusia. Yakni pada diri manusia tidak ada suatu ben­tuk epistemologi yang dapat dijadikan sebagai sandaran yang bisa dipercaya. Istilah "saya tidak tahu" sudah merupakan kodrat, ketentuan dan nasib manusia yang tidak dapat diubah. Secara sekilas pandangan ini lemah dan tidak perlu dihiraukan, tetapi para pendukung gagasan ini memiliki berbagai argumen yang kuat, yang tidak mudah dipatahkan. Saya tidak hendak mengatakan bah­wa hal itu tidak mungkin (mematahkan argumen mere­ka), tetapi saya mengatakan bahwa hal itu tidak mudah.

Pyrho dan Kemungkinan Epistemologi

Pada masa setelah Socrates, ada sekelompok orang yang menamakan dirinya "Kelompok Peragu" dan yang paling terkenal di antara mereka adalah seorang yang bernama Pyrho. Ia mengungkapkan sepuluh argumen mengenai ketidakmungkinan epistemologi. Ia mengatakan, "mustahil dapat mengetahui sesuatu dengan pasti, ragu-ragu dan saya tidak tahu adalah keten­tuan dan nasib pasti manusia". Argumen yang paling ringan ialah tatkala ia menyatakan, "Jika manusia itu hendak memahami dan mengetahui sesuatu, apa alat dan instrumen yang akan ia gunakan? Kita tidak memi­liki alat lebih dari dua: indera dan rasio. Sekarang saya bertanya, Apakah indera dapat berbuat kesalahan atau­kah tidak? Pasti semua menjawab bahwa kesalahan yang terjadi pada alat penglihatan, pendengaran, pera­sa, peraba dan penciuman tidak dapat dihitung jumlah­nya, dan bahkan ada yang menyatakan mampu untuk membuktikan seratus kesalahan yang telah dilakukan oleh alat penglihatan. Ia melanjutkan, "Sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan dan sandaran. Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya tidak dapat mempercayai penglihatan saya tatkala penglihatan itu melihat sesuatu yang lain." (Islam dan Epistemologi)

Lalu bagaimanakah dengan rasio? Ia mengatakan, "Rasio justru banyak melakukan kesalahan melebihi indera. Pada berbagai argumen rasional, ilmuwan dan para filsuf seringkali melakukan kesalahan. Dengan demikian, indera dan rasio dapat melakukan kesalahan, sementara kita hanya memiliki dua alat ini. Oleh karena itu, bagaimanapun dan apa pun yang kita pikirkan, apa pun yang berhubungan dengan rasio dan indera, maka jelas dapat menjadi salah, dengan demikian, kita tidak dapat mem­percayainya dan menjadikan keduanya itu sebagai pe­gangan." (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 25)

Keraguan al-Ghazali

Di antara ulama Islam seseorang yang pertama kali memulai filsafat dan madrasahnya dari keraguan adalah al-Ghazali. Al-Ghazali memulai aktivitasnya dari keraguan, sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes. Kedua sosok itu berangkat dari titik yang sama. Keduanya memulai aktivitasnya dari keraguan dan keduanya menyatakan bahwa telah berhasil meraih keyakinan. Tetapi ada dari mereka yang memulai aktivitasnya dari keraguan dan tetap berada dalam keraguan, hal ini terdapat dalam dunia Islam dan juga dunia Barat dan jika ada kesempatan saya akan menceritakan ringkasan sejarahnya. Tatkala al-Ghazali hendak memulai menuntut ilmu, ia mera­gukan segala yang ada. Yakni dia meragukan apa saja yang telah ia gapai. Ia mulai menuju indera dan mengatakan, "Sekarang saya duduk di sini, buku ada di depan saya, pena dan kertas ada di tangan saya, saya tengah melihat angkasa, saya tengah mendengar ber­bagai suara, sekalipun saya ragu terhadap berbagai hal, tetapi saya tidak dapat ragu terhadap keraguan saya ini". Kemudian dia memberi jawaban kepada dirinya sendiri, (bahkan di sini pun dia masih tetap tidak stabil dan terjerumus dalam kesalahan). la mengatakan, "Wahai Ghazali! Sampai sekarang ini engkau masih tengah bermimpi. Misalnya saja dalam mimpi engkau duduk dan menulis buku, sedang berbicara dengan rekan-rekanmu, engkau mendengar pembicaraannya, dan di alam mimpi itu engkau melihat semuanya dengan mata kepalamu sendiri, memakan makanan yang lezat-lezat, dan semua itu tidak ubahnya seperti yang diungkapkan oleh Nasim Syumol mengenai ke­luhan si fakir yang hidup sengsara,

Suatu malam aku bermimpi mengenakan pakaian baru

Ku dengar alunan musik dan aku di ranjang yang hangat dan lembut

Sakuku penuh dengan uang yang tak terhitung

Tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian

Wahai Ghazali! Tidakkah dalam alam mimpimu engkau telah melihat hal-hal yang semacam ini? Seba­gaimana sekarang ini engkau tidak merasa ragu bahwa ini (keraguan) adalah benar, di alam mimpimu pun engkau tidak merasa ragu atas apa-apa yang engkau lihat saat itu. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang merasa ragu atas apa-apa yang ia lihat dalam mimpinya dan mengatakan, "Apakah yang aku lihat itu betul atau salah? Di alam mimpi manusia tidak akan merasa ragu, apa yang ia saksikan benar-benar ia sak­sikan, tetapi ketika ia terjaga, ternyata semua itu hanya khayalan dan tidak ada bentuknya, tatkala terjaga, aku lihat sebagian anggota tubuhku tanpa pakaian.

Mungkinkah seluruh kehidupanku ini bukan mimpi besar? Apakah tidak mungkin sekarang ini saya, Ghazali, yang dilahirkan oleh ibuku si fulana dan memi­liki ayah si fulan, menuntut ilmu di sekolah, menikah, belajar selama bertahun-tahun, bertahun-tahun melatih diri, dan sekarang duduk di sini, lalu secara tiba-tiba saya terbangun dan menyaksikan bahwa semuanya hanyalah mimpi? Dari mana saya tahu kalau ini bukan mimpi? Adakah bukti yang memperkuat bahwa kehi­dupan saya sekarang ini, di mana sekarang ini saya duduk sebagai filsuf dan hendak menemukan suatu dasar pemikiran, adalah bukan merupakan lanjutan dari sebuah mimpi panjang?" (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 26)

Pernyataan itu menunjukkan bahwa betapa manusia dalam menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan epistemologi dapat terperosok dalam berbagai jurang kesulitan.

Descartes dan Masalah Epistemologi

Bukankah Descartes juga demikian? Descartes juga pada saat meneliti "pandangan dunia"nya, memeriksa keyakinannya terhadap agama serta pengetahuan dan juga pada saat ia mengkaji ulang akhlak (etika), filsafat dan berbagai ilmu-ilmunya, tiba-tiba ia terperosok ke dalam masalah epistemologi dan mengatakan, "Dengan dalil apa tatkala saya menyatakan bahwa dunia ini ada­lah demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, ruh itu ada, dunia ini ada, Paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian?" Kemudian ia menuju pada berbagai alat dan instrumen epistemologi, ia melihat bahwa semua­ nya masih dapat diperdebatkan lagi. la hendak bersan­dar pada indera, ia melihat bahwa indera adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan yang lain. la hendak bersandar pada rasio, ia juga melihat bahwa rasio memiliki kelemahan. Tiba-tiba ia merasakan kehilangan keyakinan dan kepercayaan, ia mulai mera­gukan segalanya dan tidak tersisa lagi keyakinan dalam dirinya. Tatkala ia telah tenggelam dalam rasa bimbang dan ragu-ragu ini, tiba-tiba ia disadarkan oleh poin ini yang mana ia mengatakan, "Sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetapi saya tidak ragu bahwa saya tengah dalam keadaan ragu." Descartes berdiri di atas sebuah batu besar di alam terbuka dan mengatakan, "Saya telah menemukan sesuatu; tatkala saya meragu­kan indera saya, meragukan berbagai pengetahuan rasio saya, atau bahkan meragukan pada keberadaan diri saya sendiri, juga meragukan keberadaan Tuhan, meragukan agama dan kehidupan saya, semua itu ada­lah benar. Tetapi saya tidak dapat merasa ragu pada satu hal saja yaitu, saya tidak ragu bahwa saya tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya meragukannya, saya tetap mengetahui bahwa saya tengah merasa ragu." (Mengenal Epistemologi, Muthahhari, hal. 28)

Di bawah langit dan di tengah hamparan bumi itu ia telah berhasil menemukan suatu landasan epistemo­logi. Begitu ia menemukan landasan itu, dengan segera ia membangunnya dengan mengatakan, "Saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Di sini ia telah menemukan suatu keyakinan yakni bah­wa "saya ini ada" dan ia mulai perjalanannya dengan "saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya tengah merasa ragu, berarti saya yang tengah merasa ragu ini, adalah ada." Sekarang marilah kita lihat bersama benarkah apa yang dikatakan oleh Descartes? Ibnu Sina pada masa tujuh ratus tahun sebelum Descartes telah mengungkapkan kata-kata semacam itu, dan ia juga telah berhasil menemukan jawabannya, dan di sini saya tidak akan memaparkan permasalahan itu.

Jawaban atas Keraguan Pyrho

Jika demikian maka masalah pertama epis­temologi adalah masalah kemungkinan epistemologi yang mana mungkinkah manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan mengetahui? Pyrho mengatakan bahwa manusia itu tidak mampu untuk memahami dan mengetahui (hal itu berdasarkan pada argumen-argu­mennya yang telah dikemukakan). Terdapat jawaban dan sang­gahan atas pandangan Pyrho ini. Dalam catatan kaki di buku Ushul Falsafeh (Dasar­-dasar Filsafat) telah dipaparkan berbagai kesalahan atas pandangan ini. Mereka memberikan jawaban kepada Pyrho sebagai berikut, "Anda mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan dengan dalil bahwa penglihatan saya terkadang keliru, suatu kali saya pernah melihat seakan-­akan ada seorang yang berkepala dua, ranting pohon yang setengahnya berada dalam air terlihat patah dan lain sebagainya. Anda yang mengatakan bahwa indera dapat melakukan kekeliruan, apakah tatkala Anda menyaksikan indera melakukan kekeliruan, pada saat itu juga Anda merasa yakin bahwa itu adalah suatu kekeliruan, ataukah Anda merasa ragu bahwa indera itu telah melakukan kekeliruan? Tatkala Anda mengatakan bahwa ketika saya bangun dari tidur, dan saya meng­usap kedua mata saya, saya melihat orang yang tengah berdiri di hadapan saya memiliki dua hidung dan em­pat mata, lalu Anda mengatakan bahwa ini adalah kekeliruan, apakah dalam hal ini Anda mengetahui dan yakin bahwa itu adalah kekeliruan, ataukah Anda hanya menduga bahwa itu adalah kekeliruan? Tidak, saya mengetahui bahwa itu adalah kekeliruan, pasti ia tidak memiliki dua hidung dan empat mata." (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 30)

Jika demikian maka Anda sendiri telah menemukan kekeliruan ini dengan perantaraan sebuah keyakinan, lalu bagaimanakah Anda mengatakan bahwa saya tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan? Ini adalah sebuah pengetahuan (ma`rifah). Tatkala Anda mengata­kan bahwa di suatu tempat rasio telah berbuat suatu kekeliruan, kemudian dengan yakin dan pasti Anda mengatakan bahwa rasio telah melakukan suatu keke­liruan, hal itu sama dengan ungkapan: "Saya mengeta­hui bahwa rasio telah melakukan suatu kekeliruan," dengan demikian, Anda telah sampai pada haki­kat. Tatkala manusia masih belum sampai pada hakikat, dia tidak akan mengetahui kekeliruan apa-apa yang ada di depannya.

Oleh karena itu, kita mesti mengatakan demikian bahwa manusia pada sebagian pengetahuan yang ia miliki terdapat kekeliruan dan juga secara pasti tidak terdapat kekeliruan pada sebagian pengetahuan yang lain. Dengan demikian maka kita mesti melakukan pemba­gian atas kasus permasalahan ini. Kita mesti mencari dan menemukan sebuah neraca, lalu kita perhatikan bersama apakah dengan neraca itu kita mampu untuk mengadakan pembenahan atas berbagai kekeliruan itu ataukah tidak? Kenapa tatkala kita melakukan keke­liruan pada beberapa masalah saja, lalu kita menging­kari epistemologi secara total? Kenapa kekeliruan kita dalam beberapa kasus permasalahan itu, kita sejajarkan dengan berbagai keyakinan kita terhadap berbagai per­masalahan yang amat jelas yang di situ tidak terdapat suatu keraguan pun? Pernyataan Pyrho ini tidak ubah­nya semacam syair milik Sa'di:

Karena di antara sebuah kaum ada seorang jahil

Ia tidak berada di atas bukit dan tidak pula di atas awan

Tidakkah engkau melihat seekor lembu yang ada di padang rumput

Mencemari seluruh lembu yang ada di desa

Benar, kasus tersebut dapat berlaku pada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial, yakni jika ada beberapa individu dari sebuah masyarakat, dari sebuah kelompok, misalnya saja dari kelompok roha­niawan, muncul pribadi-pribadi yang tidak bermoral atau berprilaku buruk, maka hal itu akan mencoreng harga diri mereka semua. Tetapi bukan berarti ketika si Zaid berbuat kesalahan lalu kita menghukum si Amir.

Di kota Balakh pandai besi berbuat salah

Di kota Syusytar mereka memenggal leher pandai tembaga

Sebagian dari epistemologi kita ini adalah salah dan pasti sebagian yang lain adalah benar, lalu (dengan menggunakan epistemologi yang benar itu) kita mela­kukan koreksi pada epistemologi yang salah itu. Dari sinilah munculnya ilmu logika (mantiq).

Ilmu logika adalah sebuah ilmu yang merupakan asas dari epistemologi. Berkaitan dengan mungkin atau tidak mungkinnya memperoleh epistemologi, sebagian yang menyatakan bahwa kita tidak mungkin memper­oleh pengetahuan adalah karena mereka memukul rata permasalahan yang ada, sementara mereka yang menyatakan bahwa kita ada kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, akan mencari neraca yang dapat digunakan untuk menimbang epistemologi yang salah dan yang betul, dan dengan neraca itu pula mere­ka akan memisah-misahkan antara epistemologi yang salah dan epistemologi yang betul.

Kita mesti melihat apa yang dikatakan oleh al-Quran berkaitan dengan permasalahan ini? Apakah al-Quran meng­akui bahwa ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, ataukah al-Quran bahkan menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi? Sekalipun (al-Quran menyatakan) ada kemungkinan untuk memperoleh epistemologi, tetapi dikarenakan hal itu datangnya dari al-Quran dan mazhab, maka epistemologi yang berada dalam lingkup ideologi itu, kemungkinan akan memiliki suatu hukum tertentu, dan hukum tersebut ialah: apakah epistemo­logi itu dibenarkan oleh syariat ataukah bah­kan terlarang? Epistemologi itu boleh atau tidak boleh? Di sini terdapat dua bentuk permasalahan. Pertama, apakah epistemologi itu mungkin ataukah tidak mungkin? Kedua, apakah epistemologi itu diper­bolehkan (ataukah tidak diperbolehkan)? Tentunya Anda telah mengetahui bahwa di dalam Taurat permasalahan ini dijelaskan dengan suatu bentuk penjelasan yang lain dari pada yang lain, dan dikarenakan kita meyakini bahwa Taurat adalah sebuah kitab yang di dalamnya telah terjadi perubahan dan penyimpangan - yakni tat­kala kita membandingkan dengan al-Quran, suatu permasalahan yang dijelaskan oleh al-Quran dan juga oleh Taurat - maka kita akan menyaksikan dengan jelas bahwa Taurat dalam menjelaskan permasalahan itu ber­tolak belakang dengan penjelasan al-Quran. Kita sama sekali tidak ragu bahwa penjelasan yang ada dalam Taurat itu, benar-benar telah disimpangkan dan diselewengkan. A-Quran yang merupakan sebuah kitab agama tidak akan mengungkapkan permasalahan ini secara filosofis; yakni dengan bentuk apakah epis­temologi itu mungkin ataukah mustahil? Akan tetapi kita mesti memahami isi al-Quran itu dengan memper­hatikan apakah pandangan dan pendapat yang terdapat dalam a-Quran itu berdasarkan pada kemungkinan epistemologi, ataukah berdasarkan pada kemustahilan epistemologi? Apakah berbagai tuntunan yang ada dalam al-Quran itu dapat dianggap berdasarkan pada kemungkinan epistemologi ataukah pada ketidakmung­kinan epistemologi? Dan masalah yang lain ialah apakah epistemologi itu dibolehkan ataukah tidak diboleh­kan?

Penyimpangan Sejarah yang Paling Merugikan

Dalam Taurat, terdapat peyimpangan yang saya rasa dalam dunia ini tidak ada suatu bentuk penyim­pangan yang lebih merugikan dari bentuk penyimpang­an itu. Kita semua mengetahui bahwa kisah Nabi Adam as selain tercantum dalam al-Quran juga ter­cantum dalam Taurat. Kisah tersebut ialah: Adam as dan istrinya selama berada di surga diperbolehkan untuk menikmati berbagai kenikmatan dan seluruh buah-buahan yang ada, namun di sana terdapat suatu jenis pohon yang mana mereka berdua tidak diperbolehkan untuk mendekatinya dan memakan buahnya. Adam as memakan buah pohon tersebut dan dikarenakan hal itulah maka ia dikeluarkan dari surga. Inilah kisah yang terdapat dalam al-Quran dan juga Taurat. Tetapi per­soalannya adalah, pohon apakah itu? Dari berbagai keterangan yang terdapat dalam al-Quran, dan juga berbagai hadis yang dapat dijadikan sandaran, dapat diambil kesimpulan bahwa buah terlarang itu adalah berhubungan dengan sisi kebinatangan (hayawaniah) manusia dan bukan berhubungan dengan sisi kemanusia­an (insaniah) manusia. Yakni suatu perkara yang meru­pakan bagian dari hawa nafsu, keserakahan, iri, dengki, yang menurut istilah disebut dengan "anti kemanusia­an".

Janganlah engkau mendekati pohon tamak, yakni janganlah engkau tamak. Janganlah engkau men­dekati pohon dengki, yakni janganlah engkau mendeng­ki. Tetapi Adam as, menjatuhkan dirinya dari kemanusiaan dan mendekati pohon itu. la mendekat pada tamak, serakah, dengki, takabur, yakni mendekat pada berbagai perkara yang merendahkan serta menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman kepadanya, "Keluarlah dari sini." (kapan Allah mengusirnya dari surga?) Allah mengusir Adam as dari surga setelah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemuka­kannya kepada para malaikat, lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-bendu itu jika kamu orang-orang yang benar!." (Q.S. al-Baqarah: 31)

Setelah Allah mengajarkan kepadanya seluruh haki­kat, (lalu Allah berfirman), "Ini bukan tempat tinggal­mu, keluarlah dari sini!"

Isi Kitab Taurat telah diselewengkan oleh orang-­orang yang memiliki tujuan keji, di mana di sana dise­butkan bahwa pohon yang tidak boleh didekati oleh Adam, adalah berhubungan dengan sisi kemanusiaan Adam dan bukan berhubungan dengan sisi kebinatang­an, berhubungan dengan peningkatan kedudukan Adam dan bukan perendahan kedudukan Adam. Bagi Adam terdapat dua bentuk kesempurnaan dan Allah tidak menginginkan kedua kesempurnaan itu diraih oleh Adam secara sekaligus; pertama, kesempurnaan penge­tahuan dan yang kedua, kekekalan di surga. Adam telah merasakan buah dari pohon pengetahuan (epis­temologi), lalu matanya terbuka dan pada saat itu ia mulai mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Ia bergumam, "Sebelum ini saya dalam keadaan buta, sekarang ini mata saya terbuka. Sekarang saya mulai dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk." Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Lihatlah! Kamu tidak menghendaki ia menikmati buah dari pohon pengetahuan dan epistemologi, tetapi ia telah memakannya, dan matanya menjadi terbuka. Sekarang tatkala matanya telah terbuka, ini amat ber­bahaya jika ia sampai memakan buah pohon kekekalan, yang akhirnya ia akan hidup kekal. Dengan demikian maka sebaiknya kita keluarkan saja ia dari surga."

Bentuk pengetahuan dan penyelewengan agama dan mazhab ini, mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Akhirnya mereka mengatakan, "Dengan demikian maka cukup jelas, adanya kontradiksi antara agama dan pengetahuan. Adam mesti beragama dan mematuhi perintah Tuhan, atau memakan buah pengetahuan sehingga matanya menjadi terbuka, atau mematuhi perintah Tuhan dan matanya tetap dalam keadaan buta dan tidak mengetahui sesuatu apa pun, atau memiliki pengetahuan tetapi melanggar perintah Tuhan. Karena supaya matanya dapat terbuka, ia mesti melanggar perintah Tuhan dan mengesampingkan agama". Kemu­dian lambat laun di Eropa muncul berbagai ungkapan di antaranya ialah, "Jika seorang yang mengikuti pandangan Socrates, hidup sengsara dan kelaparan itu jauh lebih baik dari pada menjadi budak", "Sehari saja saya hidup dengan mata terbuka (memiliki pengetahuan pen.) jauh lebih saya sukai daripada seumur hidup dalam keadaan buta (bodoh pen.) dan kemudian berharap akan masuk surga", "Saya lebih suka berada dalam neraka Jahanam dengan mata ter­buka (memiliki pengetahuan), dari pada berada dalam surga dalam keadaan buta (bodoh)."

Hal inilah yang menyebabkan di Eropa muncul sebuah pemikiran yang amat gawat, yaitu adanya kon­tradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Anda jangan mengira bahwa pemikiran semacam ini muncul­nya dari empat ilmuwan yang mengeluarkan pendapat­nya. Akar pemikiran itu terdapat dalam agama Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya menganggap Taurat sebagai "perjanjian lama" dari kitab samawi. Yakni di sana disebutkan bahwa kalian mesti konsisten terhadap agama dan nantinya kalian masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, makan, minum, tidur dengan leluasa serta berkeliling ke berbagai penjuru surga, tetapi mata kalian mesti dalam keadaan tertutup. Tetapi jika mata kalian ter­buka, maka kalian mesti hidup dalam keadaan sengsara dan menanggung berbagai beban penderitaan.

Al-Quran dan Kisah Adam As

Adapun dalam al-Quran sama sekali tidak ter­dapat bentuk pembicaraan semacam itu. Al-Quran menceritakan kisah Adam As tatkala mendekati pohon tersebut setelah kisah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemuka­kannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama betuta-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!. (Qs. al-Baqarah [2]: 31)

Yakni sebelum Adam As menempati surga telah dikatakan kepadanya untuk tetap tinggal di sana, mata­nya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan se­ekor binatang yang matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam As adalah seorang manusia. Karena ia adalah seorang manusia, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan. Dengan ilmu dan penge­tahuan yang ia miliki, ia masih terperdaya hawa nafsu­nya, menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya ia menjadi tamak dan serakah. Allah menegaskan bahwa di sini (surga) adalah tempat untuk manusia. Adam as telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga. Adam As tidak mengamalkan epistemologi dan pengetahuan yang ia miliki.

Epistemologi melahirkan "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" melahirkan ideologi dan ideologi perlu pengenalan. "Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai hakikat. Kalimat 'saya mengetahui' menunjukkan kepada saya tentang suatu bentuk alam ini. Dan karena saya (Adam) mengetahui alam semesta sedemikian rupa, maka saya terikat dengan 'harus dan tidak boleh'. Tetapi saya tidak menghiraukan `harus dan tidak boleh' itu, tidak mera­sakan adanya rasa tanggung jawab, sekali­pun ada bisikan: 'pohon itu adalah pohon kekekalan, karena Allah merasa iri padamu, maka Dia melarang­mu memakan buahnya. Sekarang pergilah ke pohon itu dan makanlah buahnya,' (mereka menceritakan bahwa Adam memperoleh bisikan semacam itu) saya tidak boleh terpedaya."

Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki epistemologi, Anda memiliki "pandangan dunia", Anda memiliki ideologi, dan pada akhirnya ideologi mengharuskan amal perbuatan (perbuatan memiliki dua sisi; sisi positif dan sisi negatif), diperlukan ketakwaan, menjaga diri. Mungkinkah seorang yang memiliki ideologi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menahan diri atas rasa sedikit kekurangan? Apa­kah di samping saya memiliki ideologi, saya juga senantiasa menuruti apa saja yang saya lihat? Misal­nya ketika pandangan saya tertuju pada suatu makan­an, kemudian air liur saya menetes, apakah lalu saya tidak mampu menahan diri untuk tidak memakannya! Seorang manusia, dituntut untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan untuk menahan diri.

Dalam logika Islam, sebab Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan pering­kat ke empat dari epistemologinya. Peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian "pandangan dunia", kemudian ideologi dan terakhir ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah ia tergelincir, sehingga Allah mengusirnya dari surga. Tetapi dalam Taurat disebutkan bahwa sejak pertama Tuhan telah melarangnya (Adam) untuk mencari dan memperoleh epistemologi, dan dikarenakan ia telah memperoleh pengetahuan dan epistemologi sehingga menyebabkan kedua matanya menjadi terbuka, maka Tuhan pun mengusirnya dari surga; pohon itu adalah pohon ilmu pengetahuan.

Dari penjelasan yang telah saya kemukakan men­jadi jelas, bahwa di dunia ini jarang sekali ada suatu pemikiran, pengetahuan, dan pandangan yang diselewengkan, yang mengakibatkan kerugian besar terhadap umat manusia, alam dan agama, seperti penyelewengan yang ada di dalam Taurat. Tentunya, sampai sekarang ini dampak tersebut masih tetap ber­lanjut, yakni di dunia ini masih terdapat arus pemikiran yang kuat yang menyatakan, "Ilmu atau agama, atau salah satu dari keduanya itu," (ilmu dan agama adalah dua hal yang kontradiktif).

Dengan demikian, al-Quran tidak mengakui pelarangan penggalian epistemologi, tetapi bahkan mendukung epistemologi. Dalil apakah yang membuk­tikan bahwa al-Quran mendukung kemungkinan epis­temologi? Hal itu cukup jelas, ketika al-Quran meng­ajak manusia pada penggalian epistemologi, al-Quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang mustahil. Apa yang hendak dikatakan oleh al-Quran tatkala menceritakan kisah Adam as dan keluasan epistemologinya? Al-Quran hendak mengatakan, "Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali epistemologi yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-­benda) seluruhnya." Sewaktu Imam Ja'far Shadiq As sedang duduk beralaskan kulit binatang, lalu beliau menunjuk pada alas duduk itu dan berkata, "Bahkan (Adam mengetahui) yang ada di bawah kaki saya ini." Yakni sampai sebegitu luas epistemologi yang dimiliki oleh Adam as. (Mengenal Epsitemologi, Muthahhari, hal. 41)

Dengan demikian maka al-Quran mengakui ada­nya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. kisah Nabi Adam as penuh dengan hikmah dan pela­jaran. Dan di antara hikmah, pelajaran, dan rahasia yang terdapat dalam kisah itu adalah masalah kemungkinan untuk memperoleh epistemologi. Dengan kisah itu, al-­Quran hendak menyatakan kepada seluruh manusia, "Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, anak dari Adam as yang memiliki epistemologi sampai sedemikian rupa. Kalian adalah anak Adam as yang telah berhasil memperoleh epistemologi yang tidak terbatas. Oleh karena itu pergilah menuju epis­temologi yang tidak terbatas. Kalian adalah anak epis­temologi." Menurut pandangan al-Quran, anak Adam as adalah sama dengan anak epistemologi.

Ajakan Al-Quran pada Epistemologi

Al-Quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as pada epistemologi. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam al-Quran terdapat berbagai ungkapan semacam ini, Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." (Q.S. Yunus: 101)

Katakanlah kepada masyarakat ini untuk melihat (baca: berpikir), dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Al-Quran hendak menegaskan kepada manusia untuk memahami dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dengan menyatakan, "Wahai manusia kenalilah dirimu sendiri, kenalilah alammu, kenalilah Tuhanmu, kenalilah masamu dan kenalilah masyarakat serta sejarahmu." Bahkan ayat, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, (Q.S. al-Maidah: 105). Yakni wahai orang-orang yang ber­iman atas kalian diri kalian sendiri. Sekarang terlintas dalam benak saya bahwa berbagai mufasir yang di antara mereka adalah Allamah Thabathaba'i" mengata­kan bahwa maksud ayat itu adalah, kenalilah dirimu sendiri.

Pada sebuah ayat yang amat populer dengan sebut­an "dzar" (alam dzar atau alam mitsal, alam ide, mundus imaginalis), terdapat satu poin yang amat menakjubkan berkenaan dengan masalah mengenal diri sendiri, sekalipun bentuk penjelasan itu secara sandi. Al-Quran mengatakan: "Dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka." (Q.S. al-A'raf : 172).

Yakni manusia memberikan kesaksian atas diri mereka sendiri. Dalam memberi kesaksian ini ada dua bentuk. Adakalanya seseorang memberi kesaksian atas sesuatu yang sebelumnya pernah ia lihat dan saksikan, kemudian ia hendak menyampaikan kepada orang lain dan memberikan kesaksian. Dan adakalanya, ada sese­orang yang dihadirkan di suatu tempat untuk kemudian ia akan dijadikan sebagai saksi. Yang pertama disebut dengan "menunaikan kesaksian" (ada' asy-syahadah) dan yang kedua disebut dengan "menanggung kesak­sian" (tahammul asy-syahadah). Al-Quran mengata­kan bahwa Allah menunjukkan manusia kepada dirinya sendiri (walhasil ayat ini adalah salah satu ayat yang berkenaan dengan fitrah), mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri. Yakni al-Quran mengatakan bah­wa lihatlah diri kalian! Allah mengambil kesaksian ter­hadap diri mereka.

Tatkala manusia telah melihat diri mereka sendiri, kemudian Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanrnu? Bukankah Aku adalah Tuhanmu? Mereka menjawab, "Ya." Di sini al-Quran tidak mengatakan bahwa Allah menunjukkan Zat-Nya kepa­da manusia, lalu mengatakan bahwa bukankah Aku adalah Tuhanmu? Tetapi al-Quran mengatakan bahwa manusia diperlihatkan kepada dirinya sendiri, kemu­dian Dia berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu? Apa­kah tujuan dari semua ini? Apakah hal itu sama seperti ketika si Zaid mereka tunjukkan (kepada seseorang) dan kemudian mereka bertanya (kepada orang itu), "Tidakkah engkau melihat si Amir?" Tidak, duduk per­masalahannya bukan semacam ini.

Sebagai perumpamaan, kita dapat mengumpamakan semacam seorang yang mengatakan kepada temannya, "Lihatlah cermin itu." Ketika temannya melihat ke arah cermin itu, kemudian ia menanyakan, "Bukankah saya seorang yang tampan?" Kenapa demikian? Karena ia melihat ke arah cermin. Jika temannya itu melihat ke arah din­ding, maka jadinya tidak demikian. Allah sebegitu dekat dengan manusia! Mengenal diri dan mengenal Tuhan telah bercampur menjadi satu. Sehingga Dia memerintahkan, "Wahai manusia! Lihatlah dirimu sen­diri." Dan tatkala mereka telah melihat kepada diri mereka sendiri, lalu Allah berfirman, Bukankah Aku ini Tuhanmu. Ketika engkau melihat dirimu sendiri maka engkau akan melihat-Ku, ketika engkau mengenal diri­mu sendiri, maka engkau akan mengenal-Ku. Ungkap­an, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhan-nya," merupakan sebuah ungkapan yang amat populer di dunia Islam. Bahkan ung­kapan ini telah disebutkan pada masa sebelum Islam, Socrates juga pernah mengatakannya, di India pun banyak yang pernah mengucapkan ungkapan itu. Tetapi tidak ada satu penjelasan pun yang seindah penjelasati al-Quran. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as seringkali menyampaikan kalimat tersebut, dan Rasul mulia saw juga telah menyampaikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang memiliki penjelasan yang lebih indah dari yang dijelaskan oleh al-Quran. Al-Quran dengan kefasihannya menunjukkan manusia kepada manusia itu sendiri, dengan cara memerintahkan manu­sia untuk melihat dirinya sendiri, dan begitu manusia telah melihat dirinya sendiri, seketika itu Allah ber­tanya, "Apakah sekarang engkau dapat melihat-Ku dengan baik?" Manusia menjawab, "Ya, sekarang kami dapat melihat-Mu dengan balk." Di sini al-Quran tidak mengatakan, "Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhan-nya," yakni antara telah mengenal yang satu dengan telah mengenal yang lain sifatnya adalah berurutan; pertama mengenal diri sendiri, berikutnya adalah mengenal Tuhan.

Tetapi al-Quran hendak menyatakan bahwa sebegitu dekat­nya antara dua pengenalan itu, sehingga tatkala engkau melihat yang ini maka engkau pun akan melihat yang itu. Semua penjelasan yang diberikan oleh selain al-­Quran, senantiasa meletakkan dua pengenalan itu se­cara berurutan, sedangkan al-Quran menjelaskannya dengan menggunakan sebuah kalimat bahwa manusia cukup hanya dengan mengenal diri, karena jika telah mengenal diri maka pasti telah mengenal Tuhan. Sebegitu dekatnya antara pengenalan diri dengan pengenalan Tuhan, laksana seseorang yang memandang sebuah cermin. Sekalipun yang ada di dalam cermin itu hanya­lah semacam bayangan (gambar) saja, tetapi ketika Anda berada di depan sebuah cermin maka Anda tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat gambar Anda di cermin itu.

Tatkala seseorang memperhatikan dan merenung­kan poin al-Quran ini, pasti ia akan merasa kagum dan tercengang. Inilah ayat al-Quran. Coba Anda per­hatikan, Rasul saw adalah seorang bangsa Arab yang buta aksara, penduduk desa, tidak pernah belajar, tidak memiliki guru dan pengajar, orang terpandai yang ada dalam masyarakat itu tidak ubahnya semacam kelas tiga sekolah dasar yang ada pada masa kita ini, hanya mampu membaca satu baris tulisan dan tulisan tangan­nya tidak rapi serta tidak beraturan. Apakah dapat di­percaya bahwa berbagai ucapan yang indah dan mem­pesona yang keluar dari lisan laki-laki (Muhammad Saw) semacam itu, tanpa ada hubungan dengan alam metafisika (ma'nawi) atau alam yang lain? Bahkan orang-orang semacam Socrates sama sekali tidak akan mampu untuk mengeluarkan ucapan seindah itu. Ia (Muhammad Saw) memiliki bentuk pandangan yang begitu dalam dan luas.

Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi?" (Q.S. Yunus: 101). Perhatikanlah apa yang ada di berbagai langit dan di berbagai belahan bumi (tidak pada bumi saja), per­hatikanlah apa yang ada di seluruh alam ini! Ketahui­lah apa yang ada di seluruh penjuru alam ini! Dengan demikian maka al-Quran mengajak manusia pada epistemologi. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi, artinya kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.[www.wisdoms4all.com]

Pekan II

Asal-Mula Filsafat

4. Filsafat Melalui Demitologisasi Metafisis

Setelah kita amati pada Pekan I bahwa filsafat lahir dari mitos, kita sekarang harus mengakui bahwa mitos begitu saja bukanlah filsafat. Jalan yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra dan filsafat, justru bisa disebut "demitologisasi". Istilah ini mengacu pada proses pengambilan "mitos" (dalam pengertian modern sebagai "keyakinan yang keliru") keluar dari mitos--yaitu mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang tak tertanyakan dengan harapan mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih andal. Jadi, sebagai misal, ketika saya menyarankan dalam kuliah yang lalu bahwa kita semua harus mengakui "pohon filsafat" sebagai mitos untuk kuliah-kuliah ini, kita sebenarnya tidak berfilsafat. Alih-alih, kita menyiapkan landasan untuk menanam pohon itu sendiri. Sesudah anda menyudahi matakuliah ini, saya harap anda masing-masing akan menyediakan waktu secara serius untuk bukan hanya mempertanyakan mitos, melainkan juga mempertanyakan analogi (puitis) bahwa "filsafat itu laksana pohon". Namun jika anda buru-buru mempertanyakan prakiraan ini di sini, akan anda dapati bahwa landasan benak anda terlalu payah untuk menerima wawasan yang bisa diilhamkan oleh mitos ini kepada kita.

Salah satu wawasan tersebut adalah bahwa, sebagaimana pohon merupakan organik lengkap yang terdiri atas empat bagian utama (akar, batang, cabang, daun), banyak juga, kalau bukan sebagian besar, ide filosofis yang diorganisasikan menurut pola seperti itu. Kita telah melihat beberapa pola tersebut di Pekan Pertama. Namun sebelum kita mengamati beberapa contoh bagaimana demitologisasi berjalan di Yunani kuno, saya akan menunjukkan beberapa pola lipat-empat menarik lainnya.

Jika pola "mitos, sastra, filsafat, ilmu" diakui sebagai paparan perkembangan cara pikir manusia pada skala makrokosmik (yakni budaya manusia), maka kita jangan terkejut mendapati pola serupa yang berjalan pada skala mikrokosmik (yakni individu manusia). Salah satu cara umum terpenting pemaparan tahap-tahap perkembangan individu adalah mengacu pada "lahir, muda, dewasa, dan tua". Dengan mengkorelasikan masing-masing itu dengan tingkat kesadaran yang secara progresif lebih tinggi, muncullah pola yang tampak pada Gambar II.1. Sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness) secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri. Adapun orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang, karena ingin istilah yang lebih baik, bisa kita sebut super-sadar (super-conscious). Kealiman para orang tua diakui pada semua masyarakat tradisional terutama bukan karena banyaknya tahun-tahun yang mereka alami, melainkan karena cara pikir baru yang terbuka bagi mereka; bila mereka mengambil keuntungan darinya, mereka bisa memandang implikasi yang lebih luas dari hal-hal di luar mereka sendiri.

lahir

super-sadar bawah-sadar

tua muda

sadar-diri sadar

dewasa

Gambar II.1: Perkembangan Individu

Kealiman mereka yang dihasilkan pada "tahun-tahun keemasan" mereka itu mengandung banyak kemiripan dengan jalan hidup orang-orang yang dalam imajinasi kita hidup di suatu "masa keemasan" yang padanya banyak budaya menengok ke belakang (Lihat Kuliah 3). Sekalipun demikian, yang terakhir ini tidak bersesuaian dengan masa tua, tetapi dengan pengalaman bayi pralahir di rahim ibunya. Pemetaan kaitan-kaitan ini pada suatu lingkaran menyiratkan dengan tepat sifat melingkar perkembangan yang kita pertimbangkan di sini: kesupersadaran bisa juga meliputi penangkapan kembali sesuatu yang hilang pada saat kelahiran seseorang--suatu gagasan yang dipertahankan oleh Plato sebagaimana yang akan kita amati di Kuliah 5.

Setiap tahap ini bisa juga berkorelasi dengan daya atau "fakultas" benak insani tertentu, seperti terlihat dalam Gambar II.2. Imajinasi merupakan daya yang mengatur tahun-tahun pertama kehidupan kita, laksana mitos yang mengatur pemikiran orang-orang yang hidup di budaya primitif. Sebagaimana semua orang tahu, perbedaan antara fantasi dan realitas tidak berbeda dalam benak anak-anak sejati. Namun pada remaja, daya ini diambil alih oleh gelora jiwa (passion): dengan berubahnya raga pada masa pubertas, benak pun mengubah cara mengadaptasi alam. Pujangga digerakkan oleh gelora jiwa untuk dengan kata-kata mengungkap sesuatu yang pada masa kanak-kanak hanya merupakan impian. Sebaliknya, para filsuf biasanya dikenal bukan karena gelora jiwa mereka. Ini karena daya yang cocok dengan budi-diri dewasa adalah daya pemahaman. Daya ini, bila berkembang sepenuhnya, beralih menjadi daya penimbangan. Tugas para ilmuwan adalah melampaui sudut pandang mereka sendiri dengan tujuan menimbang-nimbang bagaimana alam pada kenyataannya. Demikian juga, orang-orang yang betul-betul pantas disebut "tua" ialah mereka yang benaknya diatur terutama oleh daya penimbangan ini.

lahir

(mitos)

penimbangan imajinasi

tua muda

(ilmu) (sastra)

pemahaman gelora jiwa

dewasa

(filsafat)

Gambar II.2 Empat Daya Benak

Dengan menentukan arah pengungkapan daya-daya ini, pemahaman kita menjadi lebih lengkap mengenai kesalingterkaitan antara ide-ide itu. Mitos menggunakan imajinasi untuk mengungkap keyakinan. Sastra memakai gelora jiwa untuk mengungkap keindahan. Filsafat memanfaatkan pemahaman untuk mengungkap kebenaran, sedangkan ilmu (science) menerapkan penimbangan untuk mengungkap pengetahuan. Kita bisa melambangkan tujuan-tujuan terdalam itu dengan memetakannya pada suatu bujur-sangkar yang mencakup lingkaran yang tersaji di Gambar II.2, sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah ini:

pengetahuan keyakinan

lahir

(mitos)

penimbangan imajinasi

tua muda

(ilmu) (sastra)

pemahaman gelora jiwa

dewasa

(filsafat)

kebenaran keindahan

Gambar II.3: Empat Arah Pemikiran Manusia

Saya telah memanfaatkan waktu untuk menunjukkan pola-pola itu kepada anda bukan hanya karena saya pikir pola-pola tersebut secara intrinsik menarik, melainkan juga karena pola-pola itu akan membantu kita dalam menempatkan filsafat pada konteksnya yang tepat. Semakin baik pemahaman anda tentang konteksnya, semakin kokoh akar-akar "pohon" filosofis pribadi anda sendiri. Diagram-diagram pada Gambar II.1-3 ini menggambarkan pola-pola logis, sehingga implikasi-implikasinya tidak akan menjadi jelas sebelum kita mengkaji logika pada bagian-kedua matakuliah ini (terutama Pekan V). Bagaimanapun, dalam hal ini melihat secara singkat asal-usul logika itu sendiri ada gunanya, karena penerapan logika secara tepat diperlukan supaya demitologisasi berlangsung.

Kata "logika" berasal dari kata Yunani logos, yang bermakna "kata"--yang meliputi kata yang terucap ("pidato"), kata yang tertulis ("buku"), dan kata yang terpikir ("akal"). Namun di Yunani Kuno, logos kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk sesuatu yang bisa kita sebut makna yang tersembunyi di dalam mitos. Dalam pengertian ini, logos suatu benda merupakan tujuan akhir atau sifat hakikinya. Inilah kata yang digunakan dalam Bibel ketika, sebagai misal, Injil Yohanes bermula dengan pernyataan: "In the beginning was the logos, and the logos was with God, and the logos was God." Orang yang hidup dengan bermitos mengalami logos ini langsung dari sumbernya, dan dengan demikian tidak perlu menjelaskannya. Pujangga ialah yang mula-mula mengakui perlunya penggunaan kata-kata untuk mengungkap gelora jiwa; dengan kata-kata, pengalaman logos mengisi jiwa seseorang. Para filsuf berupaya memahami logos dengan cara sedemikian rupa untuk memisahkan kebenaran dari khayalan. Adapun ilmuwan melalaikan logos sepenuhnya dalam penelusuran fakta-fakta konkret yang bisa dikelola. "Pelalaian" ini merupakan sumber masalah kenirmaknawian atau "keterasingan" modern dan sedikit-banyak akan kita perhatikan nanti (lihat sebagai misal, Kuliah 18).

Proses pergeseran dari pengalaman logos yang mendalam ke suatu keadaan yang melupakan kehadirannya merupakan proses demitologisasi. Dalam pengertian tertentu, pelalaian logos merupakan malapetaka bagi umat manusia. Namun dalam pengertian lain, sebagaimana yang hendak kita amati pada Kuliah 9, pelalaian seperti itu (atau paling tidak, pengabaian) merupakan syarat-perlu supaya timbul pengetahuan. Sains mensyaratkan bahwa kita melupakan logos yang tersembunyi karena pengetahuan faktual hanya mengakui hal-hal yang terungkap secara terbuka. Sesungguhnya, kesulitan yang kita hadapi dalam berpikir sehubungan dengan logos itu muncul sebagai akibat langsung dari fakta bahwa kita hidup di suatu zaman yang didominasi oleh pandangan dunia ilmiah, yang tidak memberi tempat sama sekali bagi logos. Sekalipun begitu, selalu ada kemungkinan untuk kembali lagi ke tahap mitos, termasuk sesudah pelalaiannya dalam proses pemerolehan pengetahuan. Salah satu cara terbaik untuk membangkitkan kembali memori mengenai kenyataan yang terlupakan itu adalah memelihara pohon filsafat di dalam diri kita sendiri.

Para pelaku demitologisasi yang terawal di Yunani Kuno ialah para filsuf yang hidup pada jangka waktu antara Thales dan Aristoteles (lihat Gambar I.5). Dengan dua pengecualian penting (yang akan dibahas pada kuliah mendatang), para filsuf itu diacu sebagai filsuf-filsuf "prasokrates" karena mereka hidup sebelum masa seorang filsuf yang sangat berpengaruh yang bernama Sokrates. Salah satu kepedulian utama filsuf "prasokrates" adalah memerikan hakikat "realitas terdalam" (ultimate reality). Inilah, sebagaimana yang saya sebut pada Kuliah 1, tugas utama bagian filsafat yang kini kita sebut "metafisika". Di antara para pelaku demitologisasi terawal ini terdapat empat orang yang pandangannya pantas mendapat sebutan istimewa. Masing-masing berkenaan dengan salah satu dari empat "anasir" tradisional (atau sesuatu yang menyerupainya) karena betul-betul merupakan realitas terdalam. Thales sendiri berpendapat bahwa segala sesuatu pada akhirnya bisa dijadikan air. Anaximenes (kira-kira 585-528 S.M.) membantah dengan mengklaim bahwa anasir yang paling dasar itu sebenarnya udara. Tak lama sesudah itu, Heraklitus (karyanya kira-kira muncul pada 500-480 S.M.), yang memiliki gagasan yang menarik mengenai logika lawanan (lihat Kuliah 12), menyarankan agar api merupakan anasir yang paling tepat untuk memaparkan kompleks-bangunan metafisis dasar. Akhirnya, Demokritus (kira-kira 460-371 S.M.), yang namanya sangat mirip dengan suatu ideologi politik modern populer, membela kondisi "atomisme" terawal, yang memandang anasir dasar sebagai "yang-berada" (being atau what is) saja. Dengan kata ini ia memaksudkannya sebagai sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang kita maksudkan sebagai "zat atau bahan" (matter), yang pada garis besarnya sekurang-kurangnya menyiratkan kecocokan dengan anasir bumi, karena bumi itu mengacu bukan pada tanah belaka, melainkan pada semua zat padat. Karenanya, empat pandangan metafisis tadi bisa dipetakan pada salib sederhana, sebagai berikut:

api

(Heraklitus)

bumi air

(Demokritus) (Thales)

udara

(Anaximenes)

Gambar II.4: Empat Anasir di Yunani Kuno

Sebagaimana siratan diagram ini, yang terbaik dari jawaban-jawaban awal terhadap pertanyaan tentang kenyataan hakiki dikemukakan oleh Anaximander (kira-kira 610-546 S.M.), yang berpendapat bahwa di antara empat anasir tersebut tidak ada yang bisa diakui dengan tepat sebagai unsur dasar, karena anasir tersebut saling berlawanan (seperti basah dan kering, panas dan dingin). Jika satu unsur itu "tanpa tapal batas", maka ini akan merontokkan semua anasir lainnya. Ia berpendapat, sebagaimana yang ditunjukkan di sini, bahwa di pusat salib tersebut, pengakuan kebutuhan atas keempat anasir itu harus dianut bersamaan dengan keseimbangan yang kreatif. Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Empedokles (kira-kira 495-435 S.M.), yang mengakui keempat anasir tersebut sebagai realitas-realitas dasar, yang menjelaskan keseimbangannya karena dianut bersama-sama dengan daya yang berlawanan antara "cinta" (philia) dan "cekcok" (neikos).

Mana pun jawaban yang kita kira terbaik terhadap pertanyaan tadi, kita harus berhati-hati bila mengakui suatu unsur yang mana saja sebagai sesuatu yang memberi penjelasan tentang hakikat dunia fisik, karena kata "metafisika" berarti "sesudah" atau "melampaui" fisika (yakni "alam"). Jadi, kita harus berhati-hati supaya tidak mengira bahwa para filsuf tadi berpendapat bahwa segala sesuatu di bumi memang benar-benar terbuat dari (sebagai misal) api. Tentu saja itu tidak benar, kecuali jika kita dahulu kala telah membakar semua benda! Lagipula, penjelasan semacam itu merupakan tugas ilmu, bukan tugas filsafat. Alih-alih, kita harus menganggap teori-teori para filsuf tadi sebagai upaya terawal untuk mengungkap kebenaran tunggal yang tidak dapat diperkecil lagi yang terletak di balik berbagai wujud pengalaman kita sehari-hari. Dengan kata lain, mereka berusaha untuk memahami makna-tersembunyi khazanah mitologis mereka sendiri dari suatu posisi di luar mitos itu sendiri. Hasilnya adalah penjelasan yang sekarang ini kita sebut sebagai penjelasan "simbolik" mengenai bagaimana kita bisa memecahkan masalah metafisika. (Alam simbolisme akan dibahas pada Kuliah 31.) Akan tetapi, sebagaimana yang akan kita lihat pada jam kuliah mendatang, semua solusi tersebut menuju kegagalan.

5. Filsafat Sebagai Dialog Rasional

Garis pembagi tebal dalam filsafat Yunani kuno--garis yang menempatkan para filsuf yang memiliki pandangan yang terlihat jauh dan asing di satu sisi dan para filsuf yang mempunyai pandangan yang dengan jelas tampak lebih relevan dengan urusan filosofis kontemporer di sisi lain--terdapat dalam bentuk seorang filsuf saja yang, sepengetahuan kita, tidak pernah menulis buku. Filsuf tersebut, Sokrates (470-399 S.M.), memberi penafsiran yang benar-benar baru mengenai tugas filosofis, yang implikasi penuhnya merentang sampai duaribu tahun. Kita mengetahui ide dan kehidupan Sokrates terutama melalui tulisan-tulisan seorang pengikut dekatnya, Plato (427-347 S.M.). Bersama-sama dengan murid cemerlang Plato, Aristoteles (384-322 S.M.), orang-orang ini merupakan inti tradisi filsafat Yunani kuno. Meskipun mengingat-ingat kepastian tahun kehidupan mereka tidak penting, urutan masa kehidupan mereka perlu diketahui. Ini mengingatkan kita bahwa Sokrates sudah agak tua manakala ia mempengaruhi Plato muda, dan bahwa ia meninggal sebelum Aristoteles lahir:

470 Sokrates 399 384 Aristoteles 322

427 Plato 347

Gambar II.5: Tiga Filsuf Besar Yunani

Kehidupan Sokrates tidak banyak diketahui. Beberapa ilmuwan bahkan mempertanyakan apakah sesungguhnya orang tersebut pernah hidup. Namun demi tujuan kita, kita dapat mengabaikan perdebatan itu karena, walaupun barangkali tokoh itu hanya rekaan Plato dan orang-orang sezamannya, tokoh tersebut telah berfungsi sebagai "mitos" yang menuntun perkembangan filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Sokrates ialah seorang pemikir sejati yang mempraktekkan ucapannya. Sekalipun ia orang Athena yang berstatus tinggi, ia kadangkala sudi menanggalkan kedudukannya di tengah kehidupannya untuk menjalani hidup dengan "sangat miskin" sebagai seorang filsuf (PA 23b). Selama masa itu ia memanfaatkan waktunya untuk menjelajahi kota Athena dengan mengajak orang-orang untuk bercakap-cakap tentang berbagai persoalan. Ia sering bentrok dengan kaum Sofis, para filsuf profesional populer yang melahirkan "kealiman" mereka (dengan ciri khas, penelitian secermat-cermatnya tanpa penerapan semestawi sama sekali) demi uang. Kendatipun ia bersikeras bahwa ia bukan guru (33a), terdapat sekelompok pemuda (salah satunya ialah Plato) yang suka berkerumun mengelilinginya, yang tertarik untuk belajar seni berfilsafat dengan cara baru itu.

Jalan karir Sokrates yang paling signifikan, sebagaimana yang dicatat oleh Plato dalam Apology-nya, bermula ketika kawan lamanya, Chaerefon, bertanya kepada peramal Delfi apakah ada orang yang lebih alim daripada Sokrates. Tatkala Sokrates mendengar bahwa dukun tersebut menjawab "tidak", ia merasa dihadapkan dengan suatu teka-teki yang harus dipecahkan, karena ia yakin [dirinya] tidak pantas disebut alim. Oleh sebab itu, ia bepergian mewawancarai semua orang yang memiliki reputasi alim, seperti politisi, pujangga, dan cendekiawan, dengan harapan belajar dari mereka tentang makna kealiman sejati. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjelaskan "kealiman" mereka sendiri senantiasa patah oleh pertanyaan Sokrates yang bertubi-tubi. Mereka tak hanya tak mampu memaparkan dalam hal apa mereka "alim". Sokrates pun di depan umum berupaya "membuktikan" bahwa sesungguhnya mereka tidak alim. Secara alamiah, dengan mempertanyakan semua mitos tradisional yang dianut oleh hartawan dan tokoh di kalangan masyarakatnya, ia mengail musuh banyak sekali! Namun bagi Sokrates, itu tidak penting karena dengan melakukannya ia bisa menemukan "bahwa orang-orang yang berreputasi tertinggi [perihal kealiman mereka] hampir seluruhnya kurang alim, sedangkan kualifikasi kecerdasan-praktis orang-orang lain yang disangka lebih rendah [justru] jauh lebih baik" (PA 22a).

Akhirnya Sokrates menyimpulkan (PA 23a-b) bahwa peramal itu memang mengetengahkan suatu teka-teki, tetapi solusinya merupakan sebutir pil pahit bagi orang-orang yang perlu membela kemuliaan-kemuliaan kealiman manusia demi peran mereka di masyarakat:

[Some people have described] me as a professor of wisdom.... But the truth of the matter ... is pretty certainly this, that real wisdom is the property of God, and this oracle is his way of telling us that human wisdom has little or no value. It seems to me that he is not referring literally to Socrates, but has merely taken my name as an example, as if he would say to us, The wisest of you men is he who has realized, like Socrates, that in respect of wisdom he is really worthless.

([Beberapa orang menggambarkan bahwa] saya ialah guru-besar kealiman.... Namun yang benar ... tentu saja bahwa kealiman sejati merupakan sifat Tuhan dan bahwa peramal itu bermaksud memberitahu kita bahwa kealiman manusia tidak atau kurang bernilai. Tampak oleh saya bahwa ia tidak mengacu pada Sokrates secara harfiah, tetapi hanya mencomot nama saya sebagai contoh, seakan-akan ia berujar kepada kita, "Yang paling alim di antara kalian ialah orang yang, seperti Sokrates, mengakui bahwa dalam hal kealiman ia sebenarnya kurang berharga.")

Memahami implikasi wawasan ini sangat penting jika kita hendak memahami perkembangan filsafat, dan terutama metafisika, dalam duaribu tahun sepeninggalnya. Ini karena dalam pernyataan itu Sokrates dengan jelas menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik: kita harus mengakui kebebalan kita!

Harga yang harus dibayar oleh Sokrates demi wawasan tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia "merusak pikiran pemuda dan memyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara" (PA 24b). Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah prasasti pada kuil di Delfi, "Kenalilah dirimu sendiri". Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam situasi yang menyedihkan, mengingat "kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga" (38a). Memang, Sokrates jelas-jelas menghargai kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Sokrates sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik:

For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls ... Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state. (30a-b)

(Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian ... Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara.) (30a-b)

Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian besarnya memandang Sokrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah suara juri dihitung Sokrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Sokrates menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang yang mau mempersoalkan status quo--yakni jumlah filsuf--akan meningkat, bukan menyusut, sebagai akibat dari kematiannya (PA 39c)! Alih-alih menyembunyikan ketakutannya akan kematian, ia dengan tegas memaparkan bagaimana tugasnya sebagai filsuf telah menjadi tugas pelajaran tentang cara mati. Demikianlah Apology Plato berakhir (42a) dengan seruan Sokrates: "Kini saatnya kita pergi, saya menuju kematian dan kalian menuju kehidupan, tetapi siapa yang akan lebih berbahagia tiada yang tahu selain Tuhan."

Prediksi Sokrates mengenai pertumbuhan filsafat ternyata akurat. Segera sesudah kematian Sokrates, tulisan-tulisan Plato menyajikan gagasan-gagasan inti Sokrates. Sayangnya, filsuf-filsuf "pascasokrates" terlalu sering enggan untuk mempersoalkan orang-orang yang memegang kekuasaan di masyarakat. Ini sebagian karena pertalian antara filsuf dan "negara-kota" tersebut telah banyak berubah sejak masa Sokrates. Pada masa itu filsafat cenderung diterima sebagai bagian dari status quo, salah satu pokok-persoalan yang harus dikaji dalam perburuan pendidikan "pribadi utuh" (whole person); yang agak mengejutkan, perubahan ini bermula dengan Plato sendiri.

Plato menyajikan pandangan filosofisnya dalam bentuk Dialog-Dialog. Buku-buku ini mengubah kebiasaan Sokrates yang berupa pengajuan pertanyaan yang bertubi-tubi menjadi metode filosofis tertentu. Pada satu tingkat, sebuah Dialog hanya merupakan sebuah buku yang merekam percakapan antara pembicara utama--dalam Dialogues, karya tulis Plato, biasanya Sokrates--dan satu atau lebih tokoh penyerta. Di dalam percakapan itu tokoh utamanya bertindak selaku "bidan" bagi calon wawasan yang menunggu untuk "dilahirkan" di benak tokoh-tokoh lain. (Ibu Sokrates kebetulan berprofesi sebagai bidan.) Dengan kata lain, sebagaimana bidan yang baik melatih ibu yang hamil supaya si ibu bisa melahirkan bayinya (alih-alih sang bidan mengeluarkan bayi dari rahim secara paksa), tokoh utamanya pun mengajukan pertanyaan dan mengemukakan saran yang, sebagaimana adanya, "melatih" tokoh-tokoh penyerta sedemikian rupa sehingga mereka menemukan simpulan yang dikehendaki tanpa harus diberitahu. Namun pada tingkat yang lebih mendalam, kebermaknaan metode baru tersebut terletak pada dorongannya yang kuat menuju wewenang yang lebih tinggi, yakni akal, sebagai juri yang tepat untuk segala perdebatan. Sebagaimana terlukis dalam Gambar II.6, dialog itu dilaksanakan dengan asumsi bahwa wewenang yang lebih tinggi ini, yang sama-sama dimiliki oleh semua orang, mampu menanamkan pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas terdalam, atau kebenaran.

tokoh utama

akal kebenaran

tokoh penyerta

Gambar II.6: Metode Dialog

Plato menggunakan metode dialog, berlandaskan pemahamannya atas ide-ide Sokrates (walaupun dalam hal-hal tertentu tak pelak lagi melampaui gagasan-gagasan tersebut), dalam membangun sistem metafisika pertama yang lengkap dengan nada modern. Filsafatnya, yang menyediakan pola dasar sistem-sistem metafisika "idealis", terlalu rumit untuk dikaji secara agak mendalam pada matakuliah pengantar ini. Akan tetapi, dengan meninjau secara singkat teori-teorinya tentang pengetahuan dan hakikat manusia, kita akan dapat memperoleh contoh yang baik perihal bagaimana idealismenya berjalan.

Bagian filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan di sekitar hakikat dan asal-usul pengetahuan manusia disebut "Epistemologi" (dari kata Yunani epistemos, yang berarti "pengetahuan", dan logos, yang di sini sebaiknya bermakna "studi"). Metafisika dan epistemologi selalu bergandengan lekat-lekat. Ini karena pemahaman filsuf tentang apa yang pada hakikatnya nyata itu tak pelak lagi akan mempengaruhi pandangannya tentang bagaimana kita mengetahui hal-hal yang nyata itu, dan sebaliknya. Oleh sebab itu, hingga akhir kajian kita tentang metafisika, di setiap pembahasan filsuf baru saya akan mencantumkan paparan epistemologinya.

Epistemologi Plato didasarkan pada asumsinya bahwa "universa", atau kadang-kadang ia sebut "forma" atau "idea", merupakan satu-satunya realitas sejati, sedangkan "partikula", yaitu "zat atau bahan" atau "benda", hanya merupakan penampakan dari realitas ini. Karena itu, dalam banyak pengalaman kita sehari-hari kita membiarkan ilusi bahwa benda-benda dan obyek-obyek di sekeliling kita di dunia fisik merupakan realitas terdalam. Sebenarnya bagi manusia situasinya adalah bahwa idea-idea kita bukan hanya menguak keadaan terdalam subyektif, melainkan juga sifat sejati realitas itu sendiri. Oleh sebab itu, tugas hakiki filsuf adalah memperhatikan benda-benda di balik penampakannya belaka supaya dapat mengetahui idea-idea ini.

Dalam dialog terhebatnya, Republic, Buku VII, Plato menggambarkan Sokrates yang membandingkan situasi manusia dengan sekelompok orang yang terpenjara di dalam gua sejak masa kanak-kanak mereka. Leher dan kaki mereka dibelenggu sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu memandang pintu gua. Terdapat tabir di belakang mereka, dan di balik tabir itu orang-orang mengangkat patung dan pola berbagai benda yang menempel di tabir tersebut. Di belakang mereka semua ada cahaya dari api besar (yang kemudian dikenal sebagai matahari). Dengan demikian, orang-orang itu hanya bisa melihat bayangan obyek-obyek itu yang semu di dalam gua. Karena orang-orang tersebut tidak pernah mengetahui apa pun selain bayangan-bayangan itu, kelirulah perkiraan mereka bahwa itu obyek yang nyata.

yang baik

Dunia Forma

akal dan kebenaran

idea

jiwa

selera dan ilusi

raga

bayangan

Dunia Penampakan

Gambar II.7: Gua Plato

Analogi tersebut, sekurang-kurangnya dalam bentuk yang disederhanakan itu, amat gamblang. Gua itu melambangkan dunia tempat kita hidup, dan orang-orang yang dibelenggu itu melambangkan orang-orang yang belum pernah berfilsafat. Bayangan-bayangan itu merupakan obyek-obyek material (”penampakan") yang biasanya kita perlakukan sebagai obyek-obyek nyata. Adapun obyek-obyek penghasil bayangan-bayangan itu merupakan "forma" sejati penampakan-penampakan ini. Hakikat ini bisa terkuak melalui perenungan filosofis. Oleh karena itu, tugas filsuf adalah menyadari forma-forma sejati itu dengan mematahkan belenggu-belenggu yang mengikat kita pada realitas dunia material khayalan; ini dilakukan dengan merenungkan idea-idea kita, dan berupaya memperlakukan idea-idea ini sebagai realitas terdalam. Itulah versi Plato mengenai pengakuan kebebalan: kebebalan kita masih ada selama kita terus membuat kekeliruan dengan memperlakukan dunia material sebagai realitas terdalam. Kekeliruan ini terjadi manakala kita memunggungi matahari, yang melambangkan idea tertinggi, idea "yang-baik", di antara semua idea dalam sistem Plato. Kebaikan merupakan realitas; dari kebaikanlah cahaya akal dan kebenaran memancar keluar, sehingga memungkinkan kita untuk memandang semua forma kekal lainnya.

Plato membangun sistem hierarkis idea-idea, yang membentang dari idea yang lebih dekat pautannya dengan dunia material (umpamanya idea-idea yang berkaitan dengan hasrat manusia) sampai idea yang sedikit-banyak bisa membawa kita jauh ke luar "gua". Perihal idea yang terakhir ini, kebenaran dan keindahan bersama-sama dengan kebaikan merupakan tiga idea tertinggi. Meskipun ada kalanya kita dapati tiruan-tiruannya di dunia material, idea-idea itu tidak akan dapat terwujud secara sempurna dengan sendirinya di dunia penampakan. Kita tak akan bisa menunjuk sesuatu di dunia ini dan mengatakan "inilah yang kita sebut kebenaran". Ini karena kebenaran merupakan forma yang keadaannya abadi, tidak pernah berubah atau pun lenyap. Plato menyarankan para filsuf muda agar bermula dari pengetahuan tentang forma yang lebih rendah, yang melempangkan jalan mereka menuju pandangan universal tentang realitas terdalam, yang (seperti keadaan "super-sadar" yang dibahas pada Kuliah 4) pencapaiannya dalam kehidupan mungkin hanya agak terlambat. Bentuk pengetahuan yang berfungsi sebagai pedoman yang paling andal di sepanjang jalan ini, menurut dia, adalah matematika; adapun bentuk pengetahuan yang terandal di dalam matematika adalah geometri. Barangkali ini merupakan satu alasan yang baik mengapa penggunaan diagram bisa bermanfaat untuk memahami pandangan-pandangan filosofis yang musykil.

Plato yakin, orang-orang yang berhasil mencapai sasaran itu, yakni visi universal, merupakan orang-orang yang paling mampu untuk memerintah negara ideal ("republik"). Pikiran politik Plato perihal kemestian penyelenggaraan "filsuf-raja" tersebut acapkali dikecam dengan tajam lantaran berbagai alasan. Kita akan melihat lebih dekat filsafat politik pada Pekan IX. Namun dalam hal ini cukup ditunjukkan bahwa teori filsuf-raja dari Plato layak untuk dipertimbangkan secara serius: siapa yang lebih mampu memerintah dengan cara yang adil dan luhur, orang yang haus kekuasaan dan jabatan ataukah orang yang memiliki idea yang benar mengenai kekuasaan dan jabatan?

Dalam menyusun teorinya tentang forma, Plato, seperti kebanyakan filsuf-filsuf terbesar, memperhatikan persoalan realitas terdalam manusia sebagai salah satu dari aspek teori metafisisnya yang paling signifikan. Oleh sebab itu, mari kita simpulkan bahasan tentang idealisme Plato dengan secara singkat mengamati implikasinya bagi hakikat manusia. Jika dunia material merupakan khayalan, maka raga manusia tentu saja bukan realitas penentu hakikat manusia. Menurut Plato, justru raga itulah yang membelenggu kita di dalam "gua", membatasi penglihatan kita pada bayangan-bayangan realitas [saja]. Realitas sejati kita terletak dalam forma atau idea "kemanusiaan" dan sebaiknya disebut idea "jiwa" (psyche atau soul). Jiwa merupakan realitas abadi yang, sebagaimana adanya, terpenjara dalam raga manakala seorang manusia lahir ke dunia ini. Seperti terlihat pada Gambar II.8, jiwa itu terdiri atas tiga bagian (atau daya) utama: "selera" merupakan bagian terendah (yang bersesuaian dengan perut raga), "akal" merupakan bagian tertinggi (yang bersesuaian dengan kepala), dan "rohani" merupakan bagian penengah (yang bersesuaian dengan hati).

Menurut Plato, jiwa itu tak pernah tidak eksis, karena kekal. Sebelum kelahiran kita, jiwa kita dalam forma kekalnya berada di alam idea, dan ke alam inilah jiwa kita kembali sesudah kita meninggal dunia. Karena forma kekalnya tidak terhambat oleh kegelapan dan keterbatasan "gua", di alam pikiran ini jiwa itu mudah mengakses semua pengetahuan. Pengalaman kelahiran menyebabkan kita lupa akan apa-apa yang dahulu kita ketahui. Karenanya, metafisika Plato menyediakan landasan bagi solusinya terhadap salah satu pertanyaan tersulit dalam epistemologi: "Bagaimana kita sampai mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak kita ketahui?" Jawaban yang ditawarkan oleh idealisme Plato, dengan sangat sederhana, adalah bahwa semua pembelajaran di bumi ini sebenarnya merupakan pengingatan kembali apa-apa yang sebelum kita lahir kita ketahui.

akal:

kepala

rohani:

hati

selera:

perut

Gambar II.8: Tiga Daya Jiwa

Pada jam kuliah ini saya telah mencurahkan waktu hanya untuk memperkenalkan ide-ide yang dikemukakan oleh Plato (dan Sokrates). Selanjutnya jam-jam kuliah mendatang kita manfaatkan untuk mengkaji seluk-beluk idealismenya, dan bahkan kita baru saja mulai memahami kedalaman pemikirannya. Sesungguhnya, Plato sendiri yakin bahwa sistem forma kekalnya mampu menjelmakan filsafat menjadi ilmu, suatu wujud pengetahuan yang berkedudukan-kuat--suatu tujuan yang banyak dianut oleh para filsuf sejak itu. Sekalipun demikian, bagaimana tujuan ini dicapai merupakan persoalan yang senantiasa diperdebatkan. Pada jam kuliah berikut, kita akan memeriksa pandangan seorang murid Plato yang yakin bahwa filsafat ilmiah hanya bisa ditegakkan dengan mengikuti suatu jalur yang jauh berbeda.

6. Filsafat Sebagai Ilmu Teleologis

Pada jam kuliah tadi kita memperhatikan gagasan-gagasan Sokrates dan pengikutnya, Plato. Pemanfaatan akal universal oleh Sokrates dan penggunaan dialog oleh Plato untuk membangun sistem idealisme, yang didasarkan pada ajaran-ajaran Sokrates, mengubah dengan cepat perkembangan filsafat di Yunani kuno. Dengan menyebut gagasan Plato, saya telah menyimpulkan bahwa idealisme bisa menghasilkan bangunan ilmu universal. Fakta bahwa sebetulnya saat ini tiada ilmuwan yang menengok ide-ide Plato sebagai sumber sains modern menyiratkan bahwa Plato gagal dalam tugas tersebut (sekurang-kurangnya, pandangan modern tentang apakah sains itu). Akan tetapi, seperti yang akan kita perhatikan pada jam kuliah ini, sistem lain yang diajukan oleh Aristoteles, murid Plato yang paling berpengaruh berhasil dalam tugas tersebut melalui suatu jalan yang tidak pernah ditempuh oleh gurunya.

Seusai menempuh studi di sekolah terkenal yang didirikan oleh Plato, yang disebut “Akademi”, Aristoteles mengajar di sekolah ini sampai sesudah kematian Plato. Selama duapuluh tahun itu, ia tentu saja pasti telah mengenal ide-ide Plato dengan baik. Namun demikian, kemudian ia meninggalkan Akademi itu dan bekerja selaku guru privat Iskandar Agung selama sekitar tiga tahun. Sekembalinya ke Athena, ia mendirikan sekolah sendiri. Di situ ia mengembangkan dan mengajarkan sistem filsafat yang konon bertolak belakang dengan sistem Plato. Sayangnya, semua tulisan Aristoteles yang sampai kepada kita adalah catatan kuliah dan buku-ajar yang dimaksudkan untuk dipakai oleh murid-muridnya. Akibatnya, tulisan-tulisan itu kering dan jauh kurang menarik daripada Dialogues Plato yang lincah. Gaya tulisan Plato yang terlalu longgar ladang-kadang mangaburkan maknanya, sedangkan makna tulisan Aristoteles seringkali kabur karena keketatannya. Tak pelak, untuk menyajikan wawasan filosofis, gaya penulisan yang lebih patut adalah gaya yang di antara keduanya.

Aristoteles mendasarkan sistemnya pada suatu metafisika yang sedikit-banyak menempatkan idealisme Plato di benaknya dengan berpendapat bahwa yang pada hakikatnya nyata itu partikula, bukan universa. Ia menyangkutpautkan partikula dengan suatu istilah khusus, “ousia”, yang bermakna “realitas”, walau biasanya istilah ini diterjemahkan menjadi “substansi”. Karena itu, pertanyaan dasar dalam “filsafat pertama” (maksudnya metafisika)-nya adalah “Apakah substansi itu?”. Ia menjawab pertanyaan ini dengan mendefinisikan substansi sebagai benda yang eksis secara individual (lihat AC 1b-4b). “Benda” semacam itu bukan sekadar forma atau pun sebongkah bahan. Benda ini pasti justru selalu menggabungkan bahan dan forma dengan sendirinya. Substansi itu menggabungkan forma dan bahan sedemian rupa sehingga bahan ini memenuhi fungsi niscaya, alih-alih sekadar atribut atau ilusi. Karena bahan substansi itu memberi “tanda pembeda”, yang “secara kalkulatif tinggal satu dan [masih] sama, [substansi] itu mampu menerima karakter yang bertentangan” melalui perubahan bahan. Umpamanya, kapur tulis yang saya pegang sekarang ini masih akan merupakan contoh substansi “kapur tulis” walaupun berubah karakter dari kapur tulis putih menjadi kapur tulis merah. Inilah cara pandang khas terhadap hakikat realitas, yang disebut “realisme”.

Aristoteles mengembangkan lebih lanjut realismenya dengan memperbedakan antara substansi “primer” dan substansi “sekunder”. “Substansi primer ... adalah entitas yang mendasari segala benda lainnya”, sedangkan substansi sekunder adalah karakterisrik yang dapat “dipredikatkan” terhadap benda individual itu, khususnya jika karakteristik ini merupakan bagian dari definisi [yang menjawab] “what is it?” (AC 2a-b). Sesungguhnya substansi sekunder mestinya terbatas pada “genus” dan “spesies” benda individual. Sebagai misal, saya selaku manusia individu ialah substansi primer. Karena itu, fakta bahwa saya ialah manusia (spesies) dan hewan (genus) merupakan substansi sekunder, yang memerikan jenis substansi saya. Namun dalam pengertian yang lebih luas, segala benda yang “dipredikatkan [dari substansi primer] atau terdapat di dalamnya” bisa dianggap sebagai substansi sekunder. Jadi, substansi primer biasanya tampil di subyek kalimat, sedangkan substansi sekunder biasanya tampil di predikat-nya.

Artistoteles mengembangkan teorinya tentang substansi pada permulaan bukunya, Categories, yang mendefinisikan “kategori” sebagai “jenis benda yang paling umum”. Kata “forma” itu sendiri dapat dianggap sebagai makna “jenis seumum itu”, sehingga kategori merupakan forma yang sangat disamaratakan. Dalam Categories, Aristoteles menyusun daftar sepuluh jenis forma yang paling umum, yang pertama adalah substansi itu sendiri (yaitu jenis forma yang dijadikan nyata dengan ikut serta di dalam bahan). Sembilan lainnya merupakan karakteristik yang membantu kita memahami: seperti apakah substansi partikula itu. Di sini kita tidak perlu sampai merinci hakikat dan fungsi kategori-kategori tersebut. Cukup didaftar saja sembilan forma lain itu menurut urutan yang disajikan oleh Aristoteles: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan atribut (affection)(AC 1b). Pembahasan Aristoteles tentang kategori-kategori ini banyak berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah tersebut dalam bahasa kita (sehingga mengisyaratkan penekanan pada analisis linguistik dewasa ini, yang akan dibahas lebih lanjut di Kuliah 16). Namun demikian, ia pun jelas-jelas mengakui bahwa kategori-kategori tersebut menyediakan suatu cara pemahaman realitas itu sendiri (yaitu substansi) secara teratur dan sistematik.

Dalam menerapkan realismenya pada hal-hal partikula, Aristoteles menggunakan metode teleologis. Artinya, ia berpendapat bahwa forma benda sebaiknya terketahui melalui penyelidikan tentang maksud forma tersebut. Kata Yunani telos (“maksud”) juga mengacu pada akhir atau tujuan benda atau peristiwa. Mengapa ini ada? Untuk apa ini digunakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa membantu kita menjelaskan mengapa sepotong bahan spesifik berforma tertentu (particular). Aristoteles memanfaatkan metode teleologisnya sebagai bagian terpadu dari tugas pengelompokan obyek-obyek alamiah dan obyek-obyek hasil pemikiran. Ini karena metode filosofisnya menaruh perhatian ganda pada klasifikasi logis (linguistik) dan observasi teleologis (empiris). Penekanan ganda ini berpengaruh besar terhadap orang-orang yang sejak itu mengikuti tradisi yang sering disebut tradisi “empirisis”.

Tentu saja, sains modern merupakan salah satu dari buah-buah tradisi empirisis. Jadi, tidaklah sampai mengejutkan bahwa ternyata banyak nama yang kita berikan kepada cabang-cabang sains yang berlainan, sebagaimana disiplin akademik lain, mula-mula ditetapkan dengan klasifikasi teleologis Aristoteles tersebut. Buku-bukunya banyak dicurahkan pada penamaan dan penyediaan landasan dasar bagi disiplin-disiplin seperti “psikologi”, “zoologi”, dan bahkan “metafisika” itu sendiri. Jadi, sebagai misal, ia mengatakan bahwa matematika itu mengenai penyebab formal, fisika mengenai penyebab material, dan teologi mengenai penyebab keilahian, sehingga ketiganya bisa dibedakan (AM 1026a). Selain itu, ia menancapkan banyak pembedaan yang kini kita terima begitu saja, bukan hanya dalam filsafat (seperti esensi-eksistensi dan sebab-akibat), melainkan juga dalam ilmu empiris (seperti genus-spesies dan tanaman-hewan-manusia). Hal ini tentu saja membenarkan pandangan bahwa Aristoteles ialah “datuk” ilmu modern, walaupun metode teleologisnya sendiri kini dihujat oleh sebagian besar ilmuwan. (Sebagian besar, tidak semuanya. The Anthropic Cosmological Principle adalah salah satu contoh buku mutakhir yang signifikan yang ditulis oleh ilmuwan yang sungguh-sungguh menghargai metode teleologis.)

Biarlah saya perjelas perbedaan epistemologis antara realisme Aristoteles dan idealisme Plato dengan menggunakan sepotong kapur tulis ini sebagai contoh. Bagaimana kita tahu bahwa sepotong kapur tulis ini adalah kapur tulis? Apa yang membuatnya demikian? Plato akan mengatakan bahwa idea kapur tulis, “kekapurtulisan”-nya, merupakan realitas obyek ini. Itu karena seandainya kita hendak melakukan suatu pemberantasan di segenap penjuru dunia dengan menghancurkan semua partikula kapur tulis yang sekarang ada, kita tidak akan melakukan perubahan terhadap realitas “kekapurtulisan” sama sekali. Bahkan sekiranya kita secara sistematis menghapus semua referensi tertulis tentang kapur tulis di seluruh literatur dunia, dan menunggu kematian semua orang yang pernah melihat atau memakai kapur tulis, idea-nya masih akan senyata saat ini; ideanya masih akan merupakan forma yang keberadaannya abadi, menunggu untuk diingat kembali oleh beberapa generasi mendatang. Potongan zat yang kita sebut kapur tulis ini nyata hanya karena turut serta dalam idea nyata, idea kekapurtulisan.

Sebaliknya, Aristoteles akan mengatakan bahwa realitas substansi partikula ini yang saya pegang di tangan saya, yang dinamakan “kapur tulis”, bergantung bukan hanya pada keturutsertaannya dalam forma “kekapurtulisan”, melainkan juga pada kemampuan himpunan bahan untuk mengkonkretkan (yakni berfungsi sebagai contoh nyata) forma itu di dunia yang kita alami. Ini berarti bahan itu harus memenuhi maksud kapur tulis. Apa maksud kekapurtulisan dilimpahkan kepada sebongkah bahan? Untuk apa kapur tulis dipakai? Tentu saja, bila tampil di ruang kelas, sekurang-kurangnya, kapur tulis dipakai untuk menulis hal-hal di papan tulis. Jadi, jika saya jatuhkan sepotong kapur tulis ke lantai dan kemudian meremukkannya—seperti ini (jangan bilang-bilang saya melakukannya)—maka Aristoteles akan mengatakan bahwa saya telah menghancurkan substansinya, realitas kapur tulis. Dalam kasus ini bahan-nya masih ada, tetapi formanya tidak lagi eksis sebagai kapur tulis.

Jadi, baik bagi Plato maupun Aristoteles, forma benda merupakan faktor penting dalam penentuan realitasnya. Namun bagi Plato, forma saja sudah mencukupi; sedangkan bagi Artistoteles, kaitan-pasti dengan bahan juga diperlukan. Pandangan mereka bisa diringkas secara cukup sederhana sebagai berikut:

Idealisme Plato Realisme Aristoteles

---------------- --------------------

forma = realitas forma + bahan =

bahan = ilusi substansi (realitas)

Ringkasan ini hanya mencungkil permukaan catatan Aristoteles tentang hakikat substansi, tetapi cukup memadai untuk maksud [kuliah] pengantar kita.

Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hakikat manusia? Bagaimana sudut pandang metafisis barunya, realismenya, mempengaruhi cara pemahamannya terhadap realitas manusia? Ia sependapat dengan Plato bahwa jiwa (psyche) adalah forma raga. Secara demikian, fungsi utamanya diperikan dengan peristilahan “daya penyerap gizi (nutritive), daya penyelera (appetitive), daya pengindera (sensory), daya penggerak (locomotive), dan daya pemikir (rational)” (DA 414a). Raga itu sendiri kini diakui tidak hanya sebagai atribut atau ilusi, tetapi juga sebagai unsur penting substansi manusia; melalui raga, daya-daya ini diwujudkan. Bagi anda, pandangan ini mungkin terasa jauh lebih alamiah daripada pandangan idealis Plato; sekalipun demikian, beberapa konsekuensinya mungkin kurang dikehendaki. Ini karena jika raga merupakan unsur-niscaya dalam manusia, maka bila raga mati, mati pula realitas keberadaaan individu manusia. Jiwa tanpa raga tidak akan lebih nyata daripada idea kekapurtulisan belaka dan tidak akan lebih berguna daripada serpihan debu kapur tulis di lantai ini untuk menulis di papan tulis. Implikasi negatif realisme Aristoteles tersebut, bagi siapa saja yang memyakini kehidupan sesudah kematian, akhirnya mulai menyebabkan idealisme Plato tidak begitu buruk! (Suatu jalan lain di seputar masalah itu akan sampai pada keyakinan bahwa raga itu sendiri dihidupkan kembali entah bagaimana, walau dalam keadaan yang sedikit-banyak berubah, sesudah kita meninggal. Kita akan membahas kemungkinan ini lebih lanjut di Kuliah 35.)

Aristoteles sendiri mungkin telah berupaya menambal-sulam konsekuensi realismenya yang pada potensinya tidak mengenakkan tatkala ia berpendapat bahwa jiwa manusia mempunyai maksud lain yang membuatnya berbeda dengan segala substansi duniawi lainnya. Jiwa tanaman disifati oleh daya penyerap gizi dan daya penyelera. Jiwa hewan memiliki sifat-sifat itu, tetapi ditembah dengan daya pengindera dan daya penggerak (yakni daya untuk bergerak). Jiwa manusia mempunyai semua tujuan atau maksud itu, yang menentukan jiwa tanaman dan hewan, tetapi melampaui itu semua melalui daya pemikir (nous). Dengan memandang bahwa Tuhan ialah yang rasional murni, Aristoteles berpikiran bahwa aspek sifat manusiawi ini menandakan “percikan ilahi” pada diri kita masing-masing. Secara demikian, ia memaparkan bahwa jiwa manusia merupakan [bagian] dari “hewan rasional”—suatu gagasan yang telah menjadi salah satu cara penentuan hakikat manusia yang paling luas penerimaannya. Dengan memperlakukan rasionalitas itu sendiri sebagai karakteristik jiwa ilahi, kita bisa memetakan pembedaan Aristoteles pada sebuah salib, seperti yang terlihat pada Gambar II.9.

kehidupan insani

(spiritual, bergerak)

kehidupan fauna kehidupan flora

(non-spiritual, (non-spiritual,

bergerak) tidak bergerak)

kehidupan ilahi

(spiritual, tidak bergerak)

Gambar II.9: Empat Forma Kehidupan (Jiwa) Ala Aristoteles

Pandangan tentang jiwa tersebut memberi jalan bagi Aristoteles yang membolehkan tipe kehidupan sesudah kematian. Dalam DA 430a ia mengatakan, bila jiwa “terpasang bebas dari kondisinya sekarang ini” (yakni manakala raga manusia itu mati), inti rasionalitas yang tersisa itu “bersifat kekal dan tidak mati”. Itu menyiratkan bahwa “percikan” rasionalitas pada jiwa individu akhirnya akan kembali ke “api” Tuhan yang merupakan asalnya. Meskipun masih tidak membolehkan kehidupan sesudah kematian, setidak-tidaknya hal itu memberi tujuan universal untuk menciptakan dan melangsungkan kehidupan yang berharga. Jika maksud kehidupan adalah meluaskan dan mengembangkan rasionalitas hingga titik maksimalnya, maka tentu saja filsafat merupakan kejuruan paling bermakna yang bisa diburu oleh manusia. Dalam pandangan Aristoteles, bagian universal dan filosofis dari anda, dan bagian itu sendirian, akan menghidupkan kematian anda.

Terdapat banyak segi-lain filsafat Aristoteles yang akan menarik bagi kita untuk dibahas di sini seandainya kita mempunyai waktu yang lebih banyak. Saya akan menyimpulkan dengan menyebutkan idenya saja bahwa semua pergerakan di dunia berasal dari “penggerak pertama” yang dengan sendirinya “tidak bergerak”. Yang-Berada ini juga merupakan “penyebab terakhir” (yakni tujuan puncak) semua pergerakan. Dengan kata lain, semua perubahan di dunia sekeliling kita bergerak menuju titik sandaran terakhir. Di titik ini semua perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak bergerak, seperti yang terlukis pada Gambar II.10.

Titik Omega

(Tuhan)

penyebab penggerak

terakhir pertama

alam

semesta

Gambar II.10: Penggerak Pertama selaku Penyebab Terakhir

Ide serupa juga dikembangkan secara cukup rinci oleh seorang paleontolog abad keduapuluh, pendeta Jesuit, dan filsuf mistis, Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), yang berpendapat bahwa keseluruhan kosmos bergerak menuju sasaran kesatuan-dalam-keragaman hakiki (ultimate unity-in-diversity), bernama “titik omega”—“omega” merupakan huruf terakhir abjad Yunai dan lambang tujuan abadi. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana para filsuf sepeninggalnya, khususnya sesudah munculnya agama Kristean, mengembangkan ide-ide Aristotelian menjadi catatan yang menarik tentang bagaimana alam semesta bisa terkait dengan Yang-Berada yang biasanya kita sebut Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar